Laman

Kamis, 10 Juni 2010

Cari Jalan Mendunia

PESAN pendek itu masuk lepas tengah hari di awal Mei lalu. Nomornya tak dikenal. Di ujung pesan itu si pengirim mencantumkan namanya, Andrea Hirata.

Penulis yang gemar berganti nomor ponsel itu memberi tahu, tetralogi Laskar Pelangi yang ditulisnya kini siap diterbitkan dalam bahasa Inggris. Hak cipta novelnya diambil Amer Asia Books Inc., sebuah perusahaan agen hak cipta yang berbasis di Arizona, Amerika Serikat. Perusahaan yang memasarkan hak cipta rupa-rupa buku fiksi dan nonfiksi ini kabarnya sudah meneken kontrak memasarkan Laskar Pelangi di Vietnam, Mesir, Jerman dan Cina.

Sebetulnya kabar rencana penerbitan versi bahasa Inggris sudah lama ia sampaikan. Penerbit Bentang bahkan sempat memboyong puluhan eksemplar Laskar Pelangi edisi bahasa Inggris saat versi filmnya diputar di Festival Film Internasional Berlinale di Jerman awal tahun lalu. Namun, setelahnya tak ada kabar lagi.

Sekarang Andrea boleh tersenyum puas bisa menembus batas nusantara yang cuma bisa dinikmati oleh segelintir penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Adjidarma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Ayu Utami, dan Eka Kurniawan.

***

MENERBITKAN karya di luar negeri mengingatkan saya pada sebuah diskusi di kantor penerbit Yayasan Obor. Seorang pembicara yang penulis - sepertinya juga penerjemah- menggebu-gebu mengajak penulis lokal supaya tak melulu menyasar pasar domestik, tapi juga menulis dalam bahasa Inggris supaya bisa mendunia.

Kebetulan hari itu dihadirkan juga novelis berdarah Jepang besar di Amerika, Rei Kimura. Karena menulis dalam bahasa Inggris, meski menulis cerita tentang Jepang, novelnya beredar di banyak negara dan mampir juga di Indonesia.

Novel Indonesia mendunia jelas mantap, tapi haruskah kita nginggris? Account Manager Frankfurt Book Fair Hans-Michael Fenderl berpendapat lain, menurutnya novelis sebaiknya menulis dalam bahasa yang paling dikuasainya, bahasa ibunya, dengan begitu karya sastra dan gaya penulisan bisa mencapai puncaknya.

Soal mendunia, kata dia, bukan urusan menulis dalam bahasa Inggris tapi bagaimana membuat karya yang matang lantas menemukan jalur yang tepat buat mendunia. Kebanyakan hanya semata membawa karyanya ke pameran kelas dunia dan itu faktor kegagalan penerbit mengorbitkan penulisnya. Ia mencontohkan buku-buku Milan Kundera pun menemukan jalannya mendunia tak semata dari Eropa tapi juga dari Amerika Selatan dimana karyanya nyantol di hati pembaca.

Cerita yang sama juga dialami pengarang Denmark, Peer Holm Jorgensen. Novel Forgotten Masacre miliknya tak begitu pas di kalangan pembaca Skandinavia. Penerbit dari Finlandia pernah mengontak, tapi tak berlanjut. Memang tokoh ceritanya pelaut Denmark, tapi setingnya terlalu jauh, di Indonesia, pada 1965 pula.

Namun buku ini mendapat jalannya ke Taiwan lantas mendarat di telinga Mizan. Penerbit yang bermarkas di Bandung ini memboyong novel sekaligus penulisnya ke Indonesia.

Peer bercerita, penerbit Amerika yang awalnya tak mau menyentuh bukunya mulai cair setelah mendengar Forgotten Massacre diterbitkan di Indonesia. Novel itu mendadak punya nilai tambah karena diterbitkan di negara seting ceritanya.

Membawa karya lokal ke panggung internasional tak semata menulisnya dalam bahasa Inggris, tapi menyusun strategi dengan pas. Penulis dan penyair muda Hungaria seperti juga koleganya di Indonesia, tak punya sumber daya masuk ke pentas internasional. Tapi mereka menemukan jalannya lewat ketertarikan pasar Jerman terhadap literatur Eropa tengah. Jadi buat Indonesia, tak mesti langsung ke Frankfurt atau Inggris atau Amerika, tapi bisa ke negara-negara yang punya perhatian khusus soal Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.