Laman

Minggu, 06 Juni 2010

Herbal Bukan Obat

TEMPO Interaktif, Rusdi, 44 tahun, didiagnosis dokter mengalami masalah pada levernya. Tapi setelah beberapa minggu ia mengkonsumsi obat yang diresepkan, Rusdi mengaku bosan. "Capek minum obat terus. Kasihan sama ginjal saya," katanya. Lalu atas saran orang tuanya, ia diminta meminum ramuan temulawak dan kunyit putih sebagai pendukung proses kesembuhannya. "Rasanya lebih segar dan fit sekarang," katanya.

Jamu, herbal, atau berbagai obat alami dari tumbuhan sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Sayangnya, konsep sehat dengan herbal kini semakin jarang peminatnya. Menurut ahli naturopati yang juga seorang dokter, Dr dr Amarullah H. Siregar, FBIHom, DIHom, DnMed, Msc, MA, PhD, orang sering kali menggunakan paradigma obat untuk menjelaskan fungsi dan manfaat herbal.

"Banyak orang salah kaprah tentang pengobatan. Sebenarnya, apa yang orang inginkan, disembuhkan atau diobati? Kalau hanya mengobati, berarti tidak memberantas akar penyakit yang ada. Jadi semestinya harus dicari sumber penyakitnya, sehingga dapat dicarikan solusinya," kata Amarullah dalam diskusi tentang sehat dengan herbal yang diadakan sebuah produsen obat herbal modern.

Ia mencontohkan pada penyakit diabetes. Paradigma pengobatan yang dilakukan umumnya adalah untuk mengontrol gula darah, dengan dosis obat yang terus bertambah. "Padahal masalah ada di fungsi pankreas yang mundur. Maka sebaiknya fungsi pankreaslah yang dikembalikan vitalitasnya," katanya.

Pengobatan konvensional umumnya hanya mengatasi gejala. Padahal tubuh adalah sebuah sistem satu-kesatuan yang tak bisa dipisahkan. "Justru ketika sakit, bagian tubuh yang sehat pun harus diberdayakan untuk membantu bagian yang sakit. Konsepnya keseimbangan," kata Amarullah.

Dalam hal ini, herbal berfungsi menyelaraskan kembali sistem tubuh manusia. Herbal memiliki kemampuan memperbaiki keseluruhan sistem dan bekerja sampai ke lingkup sel serta molekuler.

Amarullah menganalogikan kerja herbal dengan filosofi tukang pos. Tanaman herbal akan mengirim khasiat ke organ yang membutuhkan saja, sementara organ yang tidak membutuhkan tidak akan dimasuki. "Kelebihan akan langsung dibuang melalui saluran pembuangan. Tidak akan tersimpan," kata Amarullah.

Amarullah tak memungkiri bahwa tantangan untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan prima pada masa kini semakin sulit. Dunia dengan kondisi alam yang semakin rusak dan iklim yang ekstrem semakin berbahaya. Ini semua tanpa disadari mempercepat proses penuaan dini pada manusia.

Jumlah penderita penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, stroke, diabetes, tekanan darah tinggi, osteoarthritis, gangguan hormonal, disfungsi seksual, hingga penyakit autoimun, semakin banyak. "Saya bahkan pernah menangani pasien stroke yang baru berusia 14 tahun," kata Amarullah.

Padahal, dalam menghadapi tantangan hidup, manusia harus sehat. "Sehat bukan hanya bebas dari penyakit, tapi juga harus prima. Idealnya mulai lahir hingga meninggal," kata Amarullah.

Uniknya, berdasarkan hasil riset American Health Coach Association, tubuh manusia modern berada dalam kondisi prima atau sehat hanya dua hari dalam seminggu. Hari sehat dihitung sejak bangun tidur hingga tidur kembali. "Selebihnya, ada saja keluhan, yang meski ringan, tetap saja pertanda tubuh tak prima, seperti masuk angin, pegal-pegal, sakit kepala, dan kehabisan napas, walau baru jalan sebentar," kata Amarullah.

Karena itu, manusia harus pandai menjaga kesehatan tubuh. Dalam hal ini, ada yang hilang dalam rangkaian pengobatan konvensional. Belum lagi dalam pertemuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Januari 2006 disimpulkan, pada obat-obatan yang sudah disetujui FDA pada 1989-2000, tiga perempatnya ternyata tak memiliki efek teurapetik alias tidak benar-benar mengobati.

Amarullah mengatakan pengobatan dengan herbal bukan hendak memusuhi kedokteran modern. "Tetap digunakan untuk kondisi yang akut, tapi setelahnya bisa dirawat dengan herbal untuk mengembalikan vitalitas organ yang sakit," kata Amarullah.

Apalagi Hippocrates (Bapak Kedokteran) pernah menyatakan bahwa hanya alam yang mampu memperbaiki dan sesuai dengan kondisi tubuh manusia. Untuk itulah peranan pengobatan secara alami dengan menggunakan herbal dipercaya paling sesuai, karena hanya herbal yang bisa menyelaraskan fungsi tubuh yang sakit dengan mengembalikan vitalitasnya.

"Namun harus dipastikan bahwa pengobatan natural bukan sekadar punya natural taste, tapi juga memang terbukti bisa meningkatkan fungsi-fungsi tubuh," kata Amarullah.
"Kami rasa orang belum paham benar tentang perbedaan (antara) obat herbal dan yang lazim disebut sebagai jamu, yang tradisional atau yang modern. Walaupun sama-sama menggunakan tumbuhan alami, namun dengan penanganan yang berbeda, maka manfaat yang didapat juga berbeda," Drs H Nyoto Wardoyo, Apt, President Director PT Deltomed Laboratories.

Sayangnya, penelitian tentang tanaman herbal asli Indonesia masih sangat minim. Amarullah sendiri mengalami kesulitan ketika hendak melakukan penelitian untuk tesisnya di Amerika Serikat tentang tanaman herbal khas Indonesia. Amarullah mengakui ada banyak kendala. Misalnya, mulai penamaan dari tiap daerah yang berbeda hingga khasiat yang berbeda di tiap daerah. "Sebut saja Centela asiatica. Di Jawa Tengah, (tanaman itu) disebut untuk pegagan, sementara di Jawa Barat disebut daun antangan. Padahal masih sama-sama di Pulau Jawa, " katanya.

Belum lagi soal khasiat. Satu jenis tanaman memiliki khasiat yang berbeda. Amarullah pernah mengalami hal itu saat meneliti manfaat tekokak, atau yang di Sumatera disebut rimbang, untuk masalah saraf terjepit. "Air rebusan rimbang Sumatera lebih berkhasiat karena unsur hara tanahnya berbeda dengan di tanah Jawa. Ibu saya sendiri yang membuktikan khasiatnya," katanya.

Hal ini pula yang membuat buah merah asal Papua yang sempat naik daun tak bisa dibudidayakan di daerah lain. Maka tak berlebihan jika penelitian guna mendata dan mencari khasiat herbal asli Indonesia sudah mendesak untuk dilakukan. | utami widowati - tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.