Laman

Minggu, 04 Juli 2010

Ending Sepak Bola Gaya Bebas Maradona


Pelatih Argentina Diego Maradona mengontrol bola selama latihan bersama tim nasional Argentina di High Performance Centre Universitas Pretoria, 1 Juli 2010.
:

JAKARTA, KOMPAS.com — Mimpi Argentina untuk menjuarai Piala Dunia 2010 berakhir di perempat final. Berakhirlah sepak bola indah gaya bebas yang digadang-gadang oleh sang pelatih, Diego Maradona.

Bagi rakyat Argentina, Maradona tidak hanya legenda sepak bola. Ia sudah menjadi setengah dewa di mata pendukungnya. Maka dari itu, setelah melewati beragam rintangan dan kontroversi sepanjang babak kualifikasi, para suporter di negara itu melepasnya dengan harapan Maradona pulang membawa piala.

Salahkah mereka jika begitu mendambakan tokoh yang sebetulnya tak banyak berpengalaman sebagai pelatih itu? Mereka tampaknya tak begitu peduli dengan pendeknya daftar curriculum vitae Maradona sebagai pelatih. Itu sebabnya kolumnis olahraga John Leicester menulis untuk Associated Press, "Diego Maradona tidak melatih secara jenius, tapi juga bukan dagelan seperti yang dikira beberapa orang."

Dalam beberapa kesempatan, Maradona memang melucu dan cenderung konyol. Ketika latihan, misalnya, ia secara sukarela menjadikan dirinya sebagai target tendangan para pemainnya. Itu belum termasuk ucapan-ucapannya yang kontroversial, termasuk komentar pedasnya kepada jurnalis setelah memastikan lolosnya Argentina ke putaran final.

Maradona juga memiliki sisi hati yang serius. Ia meyakini sepak bola indah haruslah diwarnai gerak menyerang tanpa henti. "Selalu fokus pada serangan," begitulah Maradona menitikberatkan gaya main "Albiceleste".

"Kami di sini untuk menyenangkan orang-orang Argentina, bermain seperti saya (ketika menjadi pemain), cara yang membuat kami senang," kata mantan pemain yang "seorang diri" membawa Argentina juara dunia 1986 itu.

Pendapat Maradona itu tidak salah sama sekali, bahkan sangat mulia karena menjanjikan hiburan bagi penikmat sepak bola. Maradona terlalu cinta dengan sepak bola penuh hiburan. Maka dari itu jangan heran jika ia masih suka melakukan trik-trik juggling ketika ada bola di dekatnya. Itu semua menarik bagi pemirsa.

Masalahnya, taktik agresif itu tidak diimbanginya dengan strategi jitu di lapangan. Itu sebabnya Maradona disebut kurang jenius karena ia tidak meracik timnya secara matang. Diistilahkan oleh mantan libero Jerman, Lotthar Matthaeus, "Dia (Maradona) tidak punya konsep. Dia tidak punya sistem."

Contoh paling kentara adalah cara Maradona memanggil pemain ke timnas. Selama dua tahun melatih timnas, Maradona sudah memanggil 108 pemain. Lebih dari 20 orang di antaranya adalah striker. Alasannya waktu itu adalah banyaknya jadwal tanding uji coba sebelum piala dunia.

Jadwal pemain itu memang begitu padat, sampai-sampai Maradona lupa bahwa empat pemain Estudiantes yang ia panggil ternyata sedang bermain di Copa Libertadores pada saat berbarengan. Pelatih 49 tahun itu juga memilih striker Atletico Tucuman, Juan Pablo Pereyra, tapi segera mencoretnya setelah tahu bahwa Pereyra mengalami patah tulang hidung.

Anehnya, bek berpengalaman, Javier Zanetti, dan gelandang penghancur, Esteban Cambiasso, justru tak ia bawa ke Afrika Selatan. Inilah yang kemudian membuat para alumni "Der Panzer" dengan mudah menyebut Argentina keropos dalam bertahan.

Oke, jika Maradona bersikukuh dengan pola menyerang, lantas bagaimana ia mengasah lini depan timnas? Ini juga tak lazim karena ia lebih suka membebaskan para pemain tanpa sistem jelas. Ia lebih suka pemain bertalenta seperti Lionel Messi bisa bersenang-senang memainkan bola. Maradona beranggapan, jika Messi leluasa memainkan Jabulani, penonton bisa mengingat aksinya seperti melihat Maradona melewati lima pemain Inggris pada 1986.

"Tidak seorang pun bicara kepada saya di mana (saya) harus bermain. Jadi, saya juga tidak akan bilang kepada Messi di mana ia bermain," kata Maradona. Maradona akan merasa bersalah jika tak memainkan Messi karena menurutnya, "Mengambil bola dari Messi sama artinya dengan mengambil cokelat dari anak kecil. Jadi, biarkan dia bersenang-senang dengan bola."

Pilihan Maradona itu awalnya tidak menemui banyak masalah pada penyisihan grup. Argentina menang sempurna lawan Nigeria, Korea Selatan, dan Yunani di Grup B. Messi selalu tampil memukau di hadapan lawan. Meski tak mencetak gol, "Si Anak Ajaib" ini selalu bisa memorak-porandakan barisan lawan.

Cerita kehebatan Messi itu akhirnya luntur di hadapan Jerman, tim yang dikenal disiplin mengikuti diktat bermain bola dan punya sejarah lebih baik dibanding musuh-musuh Argentina di fase grup. Selama 90 menit, tak sekali pun Messi bisa keluar dari kepungan lawan. Carlos Tevez dan Gonzalo Higuain pun selalu gagal berkreasi di depan gawang.

Barisan pertahanan Argentina kalah cepat dibanding pemain-pemain "kemarin sore" Jerman. Kapten Javier Mascherano gagal mengorganisasi teman-temannya untuk cepat berlindung ketika pemain lawan beramai-ramai merangsek ke depan.

Sampai di sini, teori sepak bola indah Maradona itu berhenti. "Kami tidak dapat mewujudkan mimpi kami. Yang paling penting adalah kami bermain dengan gaya benar," kata Maradona setelah kekalahan 0-4 dari juara dunia tiga kali itu.

Adakah yang salah dengan pilihan Maradona? Sekali lagi, jika tujuan Maradona adalah menghibur penonton, maka pilihannya sama sekali tidak salah. Yang salah adalah hasilnya karena Maradona seperti tak punya jawaban untuk menghentikan gol-gol Thomas Mueller, Miroslav Klose, dan Arne Friedrich. Skor 4-0 terkesan terlalu angkuh bagi tim sekelas "Albiceleste".

LHW

Editor: lhw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.