Laman

Minggu, 05 Desember 2010

Obsesi Perempuan: Ingin Anak Sukses dalam Pendidikan



Ada suatu fenomena yang menarik bahwa salah satu kekhawatiran perempuan (dalam hal ini ‘Ibu’ – menikah dan mempunyai anak) adalah masalah pendidikan anak. Hal ini ditunjukkan oleh data survey MarkPlus Insight pertengahan tahun 2010 di mana sebanyak 10,5 persen dari sejumlah 1.301 perempuan Indonesia di kota besar khawatir terhadap masalah pendidikan anak mereka. Bila ditelaah lebih jauh, perempuan single parent mempunyai kekhawatiran terhadap masalah pendidikan anak yang jauh lebih tinggi dibanding perempuan dengan pasangan yang masih hidup. Mengapa pendidikan menjadi concern mereka?

Idealnya, pendidikan anak menjadi tanggung jawab suami dan isteri. Bahkan, mayoritas hasil riset mengenai pendidikan anak menunjukkan bahwa anak yang dididik secara bersama-sama oleh ayah dan ibunya (dalam hal ini porsi tanggung jawab suami dan isteri adalah sama) menunjukkan perkembangan aspek kognitif maupun emosi yang optimal dibanding hanya dididik oleh salah satu orang tua atau oleh kedua orang tua tetapi dalam porsi yang tidak seimbang.

Perempuan dan laki-laki ibarat “Yin” dan “yang”. Apabila kombinasi Yin dan Yang berada dalam persentase yang sepadan, maka akan tercapai suatu keseimbangan. Salah satu akan menutup kekurangan dari yang lain.

Namun demikian, fenomena saat ini menunjukkan adanya peran Yin yang lebih dominan dibanding Yang. Dari angka 100 persen, saat ini hanya ditemukan sekitar 30 persen saja anak yang dididik secara seimbang oleh ayah ibunya (seimbang antara Yin dan Yang); sementara 20 persen lainnya pendidikan anak didominasi oleh ayah (Yang); dan ironisnya 50 persen pendidikan anak didominasi oleh ibu (Yin). Mengapa porsi pendidikan anak bagi perempuan menjadi begitu besar? Adakah hal ini berhubungan dengan kekhawatiran mereka apabila anaknya gagal dalam pendidikan kemudian akan gagal dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang? Bagaimana dengan laki-laki?

Bila kita tanyakan, mengapa kelompok laki-laki alias ”Yang” kurang ‘interest’ terhadap masalah pendidikan anak? Kebanyakan dari mereka merasa terlalu sibuk untuk memikirkan urusan pendidikan anak, sehingga mereka pasrah begitu saja kepada perempuan. Ada juga yang berdalih kewalahan menghadapi sikap anak yang tidak bisa dihandle dengan baik. Alih-alih urusan memarahi anak menjadi urusan perempuan juga.

Perempuan menikah dan mempunyai anak (baca: ibu) di Indonesia meletakkan prioritas pendidikan untuk anak-anaknya begitu tinggi. Lalu apa implikasinya? Yang jelas perempuan yang merupakan para ibu di Indonesia kemudian cenderung tidak price-sensitive dan lebih berorientasi pada kualitas kalau sudah memutuskan pendidikan untuk anak-anaknya. “Pendidikan adalah modal utama bagi penerus kami untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah,” kata beberapa perempuan saat diwawancara.

Mengapa masa depan yang cerah bagi anak-anaknya begitu penting? Ya, kembali lagi adalah pada perubahan nasib. Perempuan akan bangga jika anaknya sukses dalam pendidikan dan syukur-syukur jika bernasib lebih baik dibanding orang tua mereka.

Dalam konteks mendidik anak, yang tak kalah penting bagi perempuan adalah aspek child enrichment alias pengembangan diri si anak. Seorang perempuan menikah (baca: ibu) menginginkan anaknya tumbuh menjadi pintar, sukses dan juga bahagia.

Kebutuhan ini ditangkap secara cerdas oleh produsen berbagai produk yang dalam kegiatan komunikasinya menonjolkan aspek “jaminan kesehatan” dan “jaminan kebahagiaan”.

Sudah bukan rahasia lagi apabila banyak produk yang ditujukan untuk anak-anak melalui pendekatan yang menyentuh sisi emosi ibunya. Di sini produk yang ditujukan untuk anak kemudian seolah-olah harus memiliki dua selling points, yaitu harus dapat menjamin kesehatan/keselamatan anak-anak dan juga dapat membuat mereka bertambah cerdas dan bahagia. Jika seorang Ibu membeli mainan yang juga mendidik maka dia akan merasa bahwa telah melakukan sesuatu yang berharga bagi anaknya.
Menarik untuk mengamati fenomena maraknya pertumbuhan homeschooling (Sekolah Rumah) di Indonesia.

Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra, sebagian perempuan di kota besar Indonesia (dan mungkin sebagian dari mereka pernah tinggal di luar negeri) sudah mulai luntur tingkat kepercayaannya terhadap institusi pendidikan formal di luar rumah.

Mereka mulai melirik potensi homeschooling bagi pengembangan kognitif dan emosi anak-anak mereka. Selain kurikulum bisa diatur sendiri sesuai kebutuhan, orang tua juga bisa secara langsung melakukan pengawasan dan memastikan bahwa si anak tidak bosan dengan aktivitas mencari ilmu yang mereka lakukan setiap hari di rumah. Kelas sudah bukan lagi merupakan bangunan dengan segala peraturan yang ketat. Kelas dimaknai lebih fleksibel sebagai suatu ruang yang tidak dibatasi oleh waktu dan si anak memiliki kebebasan mengatur dirinya sendiri.

Kegiatan homeschooling bagi perempuan dengan kesibukan tinggi di sektor publik dianggap sebagai alternatif cara mendidik anak-anak mereka secara efektif. Cara ini juga bermanfaat untuk mendidik anak-anak yang hanya berminat pada bidang keterampilan tertentu, atau anak-anak yang kurang berhasil dalam proses sosialisasinya sehingga ia memilih untuk belajar sendiri daripada belajar secara formal dengan teman-teman sebaya mereka seperti di sekolah.

Homeschooling
merupakan proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif, Tujuannya adalah agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.

Ada beberapa alasan mengapa para perempuan di kota besar Indonesia lebih memilih cara ini dibanding pendidikan formal di luar rumah. Melalui homeschooling jugalah pendidikan moral atau keagamaan bisa tersosialisasi lebih baik, lingkungan sosial dan tentunya suasana belajar yang lebih baik, selain memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Perempuan secara kodrat diberikan kekuatan, yakni kemampuan pengendalian diri, kekuatan emosi, kepekaan sosial, komunikasi psikologis yang tidak terlalu menonjolkan logika. Perempuan bersedia lebih sabar dibanding laki-laki dalam menangani anak. Mereka mampu memberikan perhatian yang cermat terhadap kebutuhan anak-anak sekaligus dengan kepekaannya mampu menjadi benteng bagi keluarga. Bagi perempuan, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dan membanggakan dibanding melihat anak-anak mereka tumbuh dan sukses dalam pendidikan.

“We may have thought our happiness had to be put on hold, but we still want it for our children. We try to pick the best preschool, feed them the healthiest food, arrange play dates and pretty much do everything we can to make sure they have all those things that happiness brings. But what if we're missing the point? What if there is a more direct route to assure our child's success and happiness in life? There is, and that's your own happiness,” demikian kesimpulan yang banyak dilontarkan oleh psikolog mengenai sumber kebahagiaan bagi perempuan.KOMPAS.com -

-------------------
Artikel ini ditulis berdasarkan analisa hasil riset sindikasi terhadap hampir 1300 responden perempuan di 8 kota besar di Indonesia, SES A-D, Usia 16-50 tahun, yang dilakukan bulan Mei - Juni 2010 oleh MarkPlus Insight berkerjasama dengan Komunitas Marketeers.

Tulisan 38 dari 100 dalam rangka MarkPlus Conference 2011 “Grow With the Next Marketing” Jakarta, 16 Desember 2010, yang juga didukung oleh Kompas.com dan www.the-marketeers.com

Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
Bersama Nastiti Tri Winasis (Chief Operations, MarkPlus Insight)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.