Laman

Minggu, 06 Juni 2010

Apakah Disiplin Sama dengan Hukuman?

Dalam kegiatan sehari-hari mendidik dan mengasuh anak kita seringkali berhadapan dengan berbagai perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan kita. Karena itu sering timbul dalam pemikiran untuk “mendisiplinkan” anak tersebut. Namun sayangnya banyak sekali orangtua tidak memahami benar apa makna disiplin yang sebenarnya. Orangtua dan pihak-pihak lain yang sering berurusan dengan anak gagal membedakan disiplin dengan hukuman.

Bahkan sejumlah kamus pun gagal melakukan pembedaan ini. Salah satunya adalah The New Oxford American Dictionary, kata dicipline (disiplin) didefinisikan sebagai “praktik melatih orang untuk mematuhi aturan dengan menggunakan hukuman untuk memperbaiki ketidakpatuhan”. Oleh karena itu tak heran dengan definisi semacam ini maka seringkali pendisiplinan dikaitkan dengan alat-alat yang dipakai untuk membuat para pelaku kejahatan jera : penyalahan, membuat malu dan bahkan hukuman fisik.

Kata disiplin berasal dari bahasa Latin, discipulus, yang berarti “pembelajar”. Jadi disiplin itu sebenarnya difokuskan pada pengajaran. Anak kita adalah seorang murid bagi orangtuanya. Agar ini dapat terjadi maka sebagai orangtua kita selayaknya menjadi pemimpin yang berharga untuk dipatuhi dan diteladani oleh anak-anak kita.

Perbedaan mendasar antara disiplin dengan hukuman adalah :
• Hukuman mengajarkan suatu pelajaran melalui pemaksaan emosional atau kekerasan fisik, hukuman mungkin terlihat bisa menghentikan perilaku yang tidak diinginkan saat ini namun sudah pasti tidak mencegahnya terulang lagi di masa mendatang. Berdasarkan berbagai riset para pakar psikologi hukuman bukan cara yang efektif agar anak bertingkah laku baik untuk jangka panjang.
• Disiplin menggunakan kebijaksanaan untuk mengajarkan nilai-nilai yang memperlihatkan betapa seorang anak dapat menentukan sendiri pilihannya dengan baik sesuai dengan perkembangan emosinya saat itu. Oleh karena itu tak ada “cara yang benar “ yang bisa berfungsi sepanjang waktu untuk semua situasi

Saya jadi teringat dengan seorang klien kecil berusia 5 tahun, ia dikeluhkan oleh ayah dan ibunya sebagai anak yang susah diatur, sulit diberitahu, pemarah dan sukanya hanya main boneka dan menonton film.
Saat pertama kali melihat wajahnya di ruangan saya biasa menerima klien maka saya langsung tertarik dengan gadis kecil ini. Matanya berbinar menandakan kecerdasan dan senyumnya merekah menandakan keceriaan khas anak kecil. Saya tak yakin anak ini susah diatur dan sulit diajak bekerja sama seperti yang dikeluhkan orangtuanya.

Saya langsung menyapa kedua orangtuanya dan kemudian langsung mengalihkan perhatian padanya. Setelah berbincang santai dengannya beberapa saat saya mengirimnya ke dalam ruangan lain untuk bermain bersama dengan putera saya Fio dan Aldo. Dan sekarang saya hanya bertiga bersama kedua orangtuanya. Tak berapa lama saya mendapati kedua orangtuanya over-expectation (berpengharapan lebih) terhadap anaknya yang baru berusia 5 tahun.

“Saya ini sakit tenggorokan dan berusaha mencari cara agar sembuh sendiri tanpa ke dokter karena ingin menghemat biaya. Saya berusaha menjaga makanan yang masuk dan banyak minum air putih. Kemarin dia membuat saya jengkel sekali. Sudah tahu dirinya batuk ehhh …… malah makan es krim. Saya berkali-kali mengingatkan untuk menjaga makanannya namun ia tetap saja bandel. Ia harusnya mengerti bagaimana orangtua susah mencari uang. Kami sudah berulang kali menceritakan bagaimana kami bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup ehhhh ……… dia malah seenaknya saja dan tidak mau mengerti kesulitan orangtua. Akhirnya kemarin saya bentak dia dan saya katakan kalau ia lebih baik di luar saja tidak usah pulang rumah kalau hanya bisa menyulitkan orangtua saja” kata sang ayah menceritakan kejadian yang membuatnya sangat jengkel dengan puteri kecilnya.

Saya hanya bisa terdiam dan berusaha memahami jalan pikiran sang ayah yang lagi frustrasi di depan saya. Kemudian sang istri menanyakan pada sang suami, “Tapi kenapa kamu kemarin menawarkan es krim padanya walaupun sudah tahu bahwa ia batuk?”

“Lho saya kan berusaha mendisiplinkan dia. Saya mau tahu kalau dia lagi batuk seperti itu apakah dia bisa mengontrol diri atau tidak? Eh …… kok malah tidak mengerti kalau sedang dites!”

“Lho kamu ini gimana sih, lha si Ellen itu sukanya es krim kok malah kamu tawari. Kamu ini memang cari perkara kok. Kamu sendiri kemarin makan krupuk sama telor goreng walaupun kamu tahu kamu sedang batuk. Terus anakmu tanya kenapa makan gorengan kamu marah!”

“Lha gimana tidak marah. Ia anak kecil mau tahu urusan orangtua. Kan sudah tidak ada pilihan makanan lain di rumah. Ia harusnya mengerti dong kalau kamu sedang sibuk dan tidak sempat masak. Saya sebenarnya juga tidak ingin makan gorengan tapi terpaksa karena tidak ada makanan lain. Kalau saya sakit lebih parah kan yang susah juga seisi rumah”, kata sang suami menimpali.

Ketika mendengar jawaban dari ayah ini saya sebenarnya ingin tertawa tapi saya tahu itu tidak boleh. Saya hanya tersenyum kecil saja dan mencegah pertengkaran suami istri tersebut agar tidak meledak menjadi perang dunia di ruangan saya.

Jika Anda perhatikan sang ayah terlalu egois dan mau menang sendiri. Ia menetapkan peraturan yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri. Ia tidak memberikan si anak kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran diri sesuai dengan usianya. Itulah “aturan plastis” yang sering dibuat orangtua demi keuntungan dirinya. Aturan plastis itu seperti karet yang lentur. Kalau orangtua yang berbuat maka pasti ada penjelasan masuk akalnya dan anak dituntut mengerti penjelasan tersebut dengan keterbatasan cara berpikirnya tapi kalau anak yang berbuat maka ia pasti disalahkan tanpa mempertimbangkan hal lain.

Dari percakapan singkat itu saja kita tak perlu kuliah psikologi untuk tahu siapa penyebab masalah Ellen, yang menurut laporan orangtuanya, susah diatur. Bagaimana menurut Anda, pembaca?

Disiplin positif berarti bekerja dengan komunikasi yang baik, mendengarkan anak, mangamati anak dan menetapkan batasan yang jelas terhadap perilaku anak. Saat membangun sebuah komunikasi perhatikan tipe kepribadian dan bahasa cinta anak agar terhindar dari masalah yang lebih rumit karena pemaknaan yang kurang pas dari pihak anak. Materi detai tentang tipe kepribadian anak dan bahasa cinta bisa Anda pelajari dalam Parents Club Multimedia Course.

Inilah rencana tindakan umum yang bisa kita lakukan untuk membangun suatu situasi kondusif bagi terlaksananya disiplin positif :
1. Sosialisasi tindakan
• Sejak dini sosialisasikan apa yang hendak tuju ketika anak-anak itu bertumbuh dan berkembang. Hal ini tergantung dari persepsi yang dimiliki orangtua tentang berbagai aspek kehidupan. Secara bertahap sesuai dengan perkembangan mereka ajarkan kebaikan, pentingnya menghargai kebutuhan dan pendapat orang lain serta kasih sayang. Jangan menetapkan sesuatu tanpa sosialisasi terlebih dahulu karena akan mengagetkan anak.

2. Penetapan batas
• Kunci penting di sini adalah keberanian dan kesadaran diri orangtua. Ingatlah bahwa semua anak itu menguji batasan yang ditetapkan untuk dirinya, terutama pada anak yang masih kecil (ini mungkin terdengar agak menjengkelkan Anda, tapi itulah anak-anak). Hal itu menjadi bagian dari proses perkembangan mereka.
• Tips yang bisa berguna untuk Anda kembangkan adalah :
- Batasan yang ditetapkan harus adil
- Aturan yang dibuat harus beralasan dan sesuai dengan kemampuan anak
- Perintah yang diberikan harus jelas, positif dan tegas.

Perintah tidak jelas contohnya, “Mama mau kamu bersikap baik!”. Bagi seorang anak usia 6 tahun pun ini masih membingungkan. Ia tidak tahu maksud dari “baik” itu apa. Kata ini sangat relatif. Anda harus menjelaskan poin- poin yang Anda maksud dengan kata “baik”. Apakah yang Anda maksud meletakkan kembali mainan yang telah selesai digunakan atau mengucapkan terima kasih setiap menerima pemberian atau permisi jika hendak lewat di depan orang yang lebih tua atau apa lagi …. ? Hal ini juga berlaku terhadap kata “sopan”. Seringkali orangtua mengatakan pada anaknya “Kamu harus sopan, Nak!” tanpa dibarengi dengan penjelasan dan batasan tentang kesopanan.

3. Beri kesempatan mereka mengalami akibat alami dari perbuatannya
• Ijinkan mereka menanggung akibat dari perilakunya jika mereka mencoba melanggarnya. Mereka akan belajar dari pengalaman buruknya. Yang penting setelah mereka mengalami akibatnya jangan diolok-olok. Olokan semacam, “Nah, rasakan sendiri akibatnya kalau tidak mau menurut Papa/Mama!”, malah akan menimbulkan kesedihan mendalam dan bahkan luka batin dalam diri anak kita. Cukup katakan,” Mama / papa ikut sedih kamu mengalami hal ini. Apa yang bisa kamu pelajari dari hal ini agar lain kali kamu bisa lebih baik lagi? Bagaimana Mama/ Papa membantumu agar lain kali tidak terulang lagi?”, setelah itu jika perlu peluklah dirinya untuk membuatnya tetap merasa aman dan diterima apa adanya.

4. Penghargaan
• Dekapan dan ciuman selalu merupakan sebuah penghargaan besar bagi seorang anak. Penghargaan berupa hadiah secara perlahan perlu Anda gantikan dengan perhatian positif saat perilakunya mengalami kemajuan. Kita harus waspada terhadap situasi ketika anak-anak hanya akan melakukan sesuatu demi mendapatkan penghargaan. Untuk hal ini Andalah yang tahu batasannya berdasarkan kepekaan yang Anda kembangkan sendiri.

5. Otoritas
• Tegakkan otoritas Anda sebagai orangtua pada saat yang tepat. Gunakan bahasa tubuh dan intonasi suara yang tepat pada saat yang tepat pula untuk menunjukkan bahwa Anda serius dengan ucapan Anda. Ingatlah selalu “seorang anak senantiasa menguji batasan terhadap dirinya dengan perilakunya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.