Laman

Selasa, 15 Juni 2010

Banyak Tanya Belum Tentu Cerdas


Iman Dharma/nakita

Di usia ini, umumnya anak akan banyak bicara dan bertanya. Nah, bagaimana sebaiknya orang tua menyikapi hal ini ?

Kata ahli, memang begitulah ciri anak usia 3 tahun: banyak bertanya. Sehingga pada masa ini sering dikatakan "anak haus tanya". Segala hal yang ia lihat dan dengar yang menarik perhatiannya, pastilah akan ditanyakan.

Soalnya, seperti diterangkan Dra. Mayke S. Tedjasaputra, anak usia ini baru bisa berbicara. "Jadi, dalam rangka mengembangkan kemampuan berbicaranya," ujar psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini. Selain itu, dari aspek kognitifnya juga si anak sedang ingin mencari tahu lebih banyak lagi, mengeksplorasi lingkungannya. Sehingga mendorongnya untuk banyak bertanya.

Namun begitu, menurut Mayke, pada anak-anak tertentu ada juga yang tak muncul fase ini. "Mungkin ada kaitannya dengan kepribadian. Misalnya, si anak memang pendiam dan tak terbiasa mengemukakan apa yang diinginkan atau isi pikirannya. Sehingga ia jadi tak banyak bicara atau bertanya."

Bisa juga lantaran kemampuannya yang terbatas. "Karena dalam perkembangannya memang terjadi keterlambatan," sambung Dra. Surastuti Nurdadi, MSi., juga dari Fakultas Psikologi UI, dalam kesempatan lain. Misalnya, keterlambatan perkembangan motorik. "Hal ini tentu ada kaitannya dengan perkembangan mental. Sehingga perkembangan bahasa atau berbicaranya juga terlambat."

BELUM TENTU CERDAS

Biasanya anak yang banyak bertanya dianggap cerdas. Padahal, tidak demikian kenyataannya. "Anak yang cerdas sudah bisa membentuk kalimat dan ada kontak dalam pembicaraan di mana anak bertanya dan kita harus menjawab," terang Surastuti.

Jenis/bentuk pertanyaan yang diajukan juga berbeda. Anak yang biasa-biasa saja, tulis Prof. Dr. Joan Freeman & Prof. Dr. Utami Munandar dalam buku yang sudah dialihbahasa Cerdas dan Cemerlang, lebih banyak mengajukan pertanyaan "Apa" dan "Di mana". Misalnya, "Apa nama benda itu?" atau "Di mana bonekaku?" Sedangkan anak cerdas lebih sering menggunakan kata tanya "Mengapa". Misalnya, "Mengapa bulan ada di langit?" atau "Mengapa matahari terbenam?" dan sebagainya. Intinya pertanyaan yang jawabannya merupakan hubungan sebab-akibat.

Selain itu, tambah Mayke, harus juga dilihat kalau dia bercerita, "Apakah jalan ceritanya runtut atau tidak, apakah satu cerita berkesinambungan dengan cerita lain." Misalnya, si kecil cerita bahwa tadi ia naik kereta api tapi lalu meloncat ke hal lain.

Namun, Mayke mengingatkan agar cerdas-tidaknya si anak jangan hanya dilihat dari satu aspek saja. Sebab, ada anak yang cerdas dalam aspek bahasa namun kurang dalam aspek nonverbal. Misalnya, anak yang pandai bicara dan keinginan tahunya besar lantaran perkembangan bahasa dan bicaranya memang pesat. Tapi kalau si anak diberikan permainan yang sifatnya konstruktif seperti puzzle, ternyata hasilnya tak begitu baik.

Sebaliknya, ada anak yang tak banyak bicara, untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya tak lancar, namun untuk hal-hal yang sifatnya teknis ternyata ia sangat menguasai. Jadi, ada memang anak yang cerdas di bidang bahasa, namun tak demikian dengan bidang lain. Begitupun sebaliknya.

CARI PERHATIAN

Tak jarang anak mengulang-ulang pertanyaan yang sama sehingga membuat orang tua kesal, "Cerewet amat, sih, sudah dijawab tapi masih nanya lagi, nanya lagi." Padahal, bisa jadi si anak memang belum jelas atau puas dengan jawaban yang diberikan orang tua. Karena, seperti dikatakan Surastuti, "Anak tak selalu dapat mengekspresikan maksudnya secara jelas, sehingga orang tua bisa keliru memahami maksud sebenarnya dari pertanyaan anak."

Misalnya, anak sudah tahu yang namanya kursi, tapi ia masih bertanya lagi. Mungkin sebenarnya ia ingin bertanya, "Kenapa kursi yang ini ada pegangannya dan kursi yang itu tak ada." Nah, orang tua bisa menjelaskan, "Oh, itu kursi makan, itu kursi tamu, dan sebagainya." Dengan begitu, anak pun belajar bahwa dari sesuatu yang sama juga ada perbedaannya. Bahwa ada kelompok kursi namun di dalam kelompok kursi itu sendiri ada bedanya.

Selain itu, bisa jadi anak mengulang-ulang pertanyaan lantaran ingin cari perhatian. Misalnya, Anda tak melihat kepada anak saat menjawab. "Akibatnya anak akan terus bertanya sampai ayah atau ibunya melihat ke arahnya," ujar Surastuti.

Atau, sambung Mayke, "Selama ini anak memang kurang perhatian." Misalnya, Anda lebih memperhatikan pekerjaan sehingga anak terabaikan. Nah, salah satu cara si anak merebut perhatian tersebut adalah dengan bertanya terus menerus atau mengulang-ulang pertanyaan. Lantaran ia tahu, kalau ia bertanya maka orang tuanya akan memberikan reaksi. "Jadi anak belajar, oh, saya ini harus begitu kalau mau diperhatikan ayah atau ibu."

Hal yang sama juga akan terjadi pada anak yang kelebihan perhatian. Sehingga begitu ia merasa tak diperhatikan, ia pun langsung "cari gara-gara" agar diperhatikan.

Nah, menghadapi anak yang demikian, saran Mayke, cuekin saja. Tapi sebelumnya si kecil harus diberi tahu lebih dulu. Misalnya, "Tadi, kan, Ayah sudah kasih tahu bahwa itu koran Kompas. Jadi kalau Adik tanya lagi itu koran apa, Ayah enggak akan jawab." Namun biasanya si kecil akan terus berusaha. Nah, Anda harus konsekuen, bertahanlah untuk mendiamkannya.

Atau, bisa juga dengan cara mengembalikan pertanyaan tersebut kepada si anak, "Ayo, menurut Adik itu apa?" Toh, ia juga sudah tahu jawabannya. Jikapun ia sebenarnya belum jelas dengan jawaban yang telah diberikan, maka cara ini dapat merangsangnya untuk mencoba menemukan sendiri jawabannya.

JAWABLAH DENGAN JUJUR

Lain halnya bila si anak bertanya karena ia memang tak tahu atau kritis, maka Anda harus memenuhi keinginan tahunya. Namun dalam menjawab harus disesuaikan dengan tingkatan usia dan daya tangkap si anak. "Berilah jawaban yang sederhana dan mudah dipahami anak. Tak perlu panjang-lebar karena akan membuat anak bingung dan bahkan mungkin jadi malas bertanya," tutur Surastuti.

Misalnya, ia bertanya, "Ma, ini buah apa?" Cukup Anda menjawab, "Oh, itu buah kiwi." Tak usah ditambahkan dengan penjelasan, "Buah kiwi hampir mirip dengan buah sawo kesukaan Ade. Kulitnya juga coklat warnanya. Bedanya, kulit buah kiwi berbulu sedangkan kulit buah sawo nggak ada bulunya. Rasanya...."

Bila Anda tak tahu jawabannya, Surastuti menganjurkan agar bersikap jujur. "Katakanlah terus terang bahwa Anda tak tahu. Tak usah malu. Selanjutnya luangkan waktu Anda untuk mengajaknya bersama-sama dengan Anda mencari jawabannya."

Misalnya Anda dan si kecil sedang jalan-jalan di Kebun Binatang dan si kecil bertanya, "Ayah, ini burung apa?" Jawablah, "Wah, Ayah nggak tahu. Nanti kita lihat di buku di rumah. Eh, tapi itu ada penjaganya di sana. Yuk, kita tanya ke Bapak itu." Dengan begitu, Anda mengajari si kecil untuk berusaha mencari jawabannya bila ia tak tahu. Entah dengan bertanya kepada orang yang tepat atau mencari jawabannya di buku.

Yang tak kalah penting ialah berikan perhatian kepada anak kala menjawab dengan melakukan kontak mata. Misalnya Anda sedang membersihkan ikan di dapur dan si kecil bertanya, "Ma, itu ikan apa?" Jawablah, "Ikan Mas," sambil Anda menoleh kepadanya dan bila perlu dengan menunjukkan ikan tersebut. Sehingga si kecil tak merasa dicuekin.

Ada baiknya Anda tak selalu memberikan jawaban atas pertanyaan anak, seperti dianjurkan tokoh pendidikan Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, MSc. Ed., tapi merangsang anak untuk menemukan jawabannya sendiri. "Dengan anak menemukan sendiri, maknanya akan jauh lebih kuat dibanding bila diajarkan."

Misalnya, anak bertanya, "Ayah, jagung rebus kalau ditanam bisa tumbuh enggak, ya?" Kendati Anda tahu jawabannya, lebih baik katakan, "Oh, Kakak mau tahu, ya? Yuk, kita coba tanam sama-sama." Ajaklah ia menanam biji jagung rebus itu dan biji jagung mentah (bibit) sebagai perbandingannya. Nanti ia akan melihat, manakah dari kedua jenis biji jagung itu yang akan tumbuh. Dari situlah pertanyaannya akan terjawab dan ia tak akan pernah melupakannya.

TAK USAH MARAH

Apapun pertanyaan anak harus ditanggapi. Sekalipun Anda tak tahu jawabannya atau si kecil bertanya pada saat yang tidak tepat. Misalnya, kala Anda sedang ada tamu atau menelepon. Tak usah marah apalagi membentaknya. Cukup katakan dengan lembut, "Ria mau tanya apa? Nanti, ya, kita bicarakan. Sekarang Mama sedang ada tamu." Atau, "Sekarang Ayah lagi telepon. Adit tunggu sampai Ayah selesai menelepon, ya." Sambil Anda melontarkan senyuman manis kepadanya.

Dengan demikian, kata Surastuti, anak belajar mana hal-hal penting yang harus disampaikan dan mana hal-hal yang bisa ditunda. "Jika anak sering dimarahi karena bertanya, akhirnya ia tak mau lagi bertanya." Selain itu, ia pun jadi tak berani mengutarakan apa yang jadi masalahnya jika sewaktu-waktu ada sesuatu yang harus ia katakan. Misalnya, ia ingin bilang, "Itu, Ma, adik jatuh di belakang." Ia tak bisa mengatakannya karena takut dimarahi. Kalau sudah begitu, bagaimana?

Sementara Mayke khawatir, kemampuan berpikir kritis dan kreativitas anak menjadi terhambat dan akhirnya padam. "Soalnya, anak, kan, jadi malas untuk bertanya lagi. Habis, kalau dia bertanya, orang tua tak pernah menanggapi atau dia malah dimarahi." Lain halnya kalau si anak bertanya lantaran ingin cari perhatian.

Nah, Bu-Pak, sudah tahu, kan, sekarang kenapa si kecil cerewet sekali di usia ini?

Julie Erikania/Sandra Olifia/nakita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.