Laman

Selasa, 15 Juni 2010

Kapan Anak Mulai Menulis?


Iman Dharma/nakita

Anak usia balita tak harus bisa menulis. Tapi boleh-boleh saja diajari asalkan ia memang sudah siap.

Sebagaimana keterampilan membaca, kebanyakan orang tua juga ingin agar anaknya segera bisa menulis. "Supaya kalau 'sekolah' nanti sudah bisa membaca dan menulis. Jadi, kan, enggak ketinggalan pelajaran," begitu alasannya.

Memang, kemampuan membaca dan menulis sangat penting. Tanpa kedua kemampuan tersebut, bisa dipastikan si anak akan sulit mengikuti "pelajaran" di "sekolah". Terlebih setelah ia duduk di Sekolah Dasar.

Lebih dari itu, kemampuan menulis menjadi sangat penting, seperti dituturkan Dra. Psi. Evi Sukmaningrum, lantaran kepercayaan diri si anak akan bertambah. "Ia merasa sudah mampu atau bisa menguasai hal-hal baru." Kemampuan menulis juga akan menambah penguasaan anak terhadap konsep bahasa, huruf, tulisan, dan sebagainya.

Yang tak kalah penting, menulis juga merupakan salah satu bentuk ekspresi dari komunikasi. "Kalau secara lisan anak susah mengkomunikasikan emosi atau kebutuhannya, maka ia akan menyampaikannya lewat tulisan. Misalnya, tekanannya saat menulis akan lebih keras ketika anak sedang marah," lanjut staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya ini.

SIAP DAN MATANG

Namun sebelum orang tua mengajar anak menulis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, kemampuan menulis dipengaruhi oleh faktor fisiologis, yakni kematangan dan kesiapan fungsi motoriknya. "Anak baru bisa diajar menulis bila kemampuan prehensinya sudah meningkat. Maksudnya, kemampuan untuk memegang benda di antara ibu jari dan jari-jari tangan lainnya," terang Evi.

Biasanya di usia 3 tahun si anak sudah bisa menirukan cara orang dewasa memegang benda seperti pensil, meskipun belum sempurna. Baru ketika berusia 4 tahun, ia sudah mulai bisa memegang dengan sempurna seperti orang dewasa sehingga ia bisa melakukan aktivitas seperti menggambar atau menulis dengan lebih baik.

Tentu saja, kesiapan dan kematangan anak untuk menulis berbeda-beda antara satu anak dengan lainnya. Ini bisa dilihat dari, misalnya, apakah anak sudah bisa memegang pensil dengan mantap dan sudah bisa menggoreskannya dengan baik. Kalau kita lihat anak sudah benar dan terarah dalam memegang pensil, mungkin ia sudah bisa mulai diajarkan menulis dengan betul. "Tapi bukan menulis dalam arti menulis kata, melainkan mengenal huruf seperti A, B, C, dan sebagainya."

Faktor kedua yang mempengaruhi kemampuan menulis ialah seberapa jauh pemahaman atau penguasaan anak terhadap konsep bahasa atau simbol-simbol. "Jika ia cuma mengetahui simbol-simbol dalam arti cuma menguasai konsep, misalnya mengenal huruf A, tanpa pernah mendapat latihan untuk menulis, maka perkembangan kemampuan menulisnya pun bisa lambat."

Harus juga dilihat seberapa jauh penguasaan anak terhadap simbol bahasa. Misalnya, mengenal huruf. Atau, apakah ia sudah bisa membadakan mana huruf B dan mana huruf P,misalnya. Kalau ia sudah bisa membedakan, berarti ia sudah siap untuk dilatih menulis.

Bagaimana jika ia belum siap? "Jangan dipaksa!" tanda Evi. Kalau dipaksa, tuturnya, anak akan bingung. "Nah, kebanyakan kasus hambatan menulis awalnya juga dari pemaksaan orang tua yang terlalu dini memberikan materi yang sulit sementara anak belum siap untuk menerima," tutur Evi.

PERAN ORANG TUA

Selain kedua faktor di atas, kemampuan menulis juga dipengaruhi oleh sejauh mana kesempatan belajar dan latihan yang diperoleh anak. Dengan kata lain, stimulasi lingkungan juga sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan menulis. Dalam hal ini peran orang tua sangat berpengaruh. "Tapi, tolong, jangan hasil akhirnya yang dilihat. Yang lebih penting adalah prosesnya!" saran Evi. Dengan melihat dan memperhatikan proses tadi, lanjutnya, orang tua juga akan tahu apakah si anak termasuk lambat atau sebaliknya.

Evi juga menyarankan agar orang tua selalu memberi reward setiap kali anak sudah menunjukkan usahanya. Misalnya, "Wah, tulisan Kakak bagus." Meski sebetulnya tulisan si anak tak terlalu bagus. Dengan demikian anak terpacu untuk juga mencapai hasil yang lebih baik tanpa merasa bahwa sebetulnya masih jelek.

Orang tua juga harus melihat, seberapa jauh kemampuan anak. "Jangan membanding-bandingkan dengan anak lain," tegas Evi. Kadang orang tua panik kala dilihatnya teman si anak sudah bisa menulis kata dengan jelas, sementara anaknya baru bisa menulis huruf. "Mungkin si anak tarafnya memang baru segitu. Ia memang agak lambat dalam menguasai konsep huruf sebelum ke konsep kata. Tapi jangan lantas anak dipaksa untuk bisa menyamai temannya," ingat Evi.

Memang, diakui Evi, dibutuhkan usaha keras dari orang tua agar si anak bisa mencapai hasil yang sama dengan anak lain. Namun janganlah orang tua lantas menjadi kecil hati atau malah memaksa anak. "Orang tua harus menerimanya sebagai satu masalah yang dialami anak." Lagipula, hal itu bukan suatu masalah berat, kok. Toh, masih bisa ditanggulangi selama orang tua sabar melatihnya.

Untuk itu, lanjut Evi, orang tua sebaiknya juga menjadi model yang baik. Maksudnya, jangan cuma bisa menyuruh anak menulis tapi orang tua malah sibuk sendiri dengan urusannya. "Dampingi anak selama ia belajar menulis. Dengan begitu, anak merasa diperhatikan dan itu akan mendorongnya semakin giat berlatih menulis."

TAK HARUS BISA

Sering terjadi anak cepat bosan. Baru menulis sebentar, sudah berhenti. "Nggak apa-apa. Rentang perhatian anak usia ini memang tak selama seperti orang dewasa," tutur Evi. Jadi, misalnya hari ini ia hanya mau menulis sebentar, jangan paksa ia untuk terus menulis. Biarkan saja ia melakukan kegiatan lain setelah menulis sebentar itu. Baru esoknya si anak dicoba untuk menulis lebih lama. "Tentu orang tua harus kreatif dengan melakukan metode yang bisa membuat anak betah menulis. Misalnya, sambil bermain."

Yang harus dipahami, tutur Evi, tak ada tuntutan bagi anak usia prasekolah untuk bisa menulis. "Jadi, masih wajar kalau anak belum bisa menulis di usia ini." Jangan sampai, begitu tahu si anak berkembang cepat atau cerdas, orang tua lantas berpikiran, "Oh, berarti ia juga sudah bisa menulis," sehingga orang tua kemudian menuntut sang anak harus sudah bisa menulis sebelum masuk TK. Sering terjadi, orang tua justru memaksakan kehendaknya demi kebanggaannya sendiri, tanpa didasari oleh kebutuhan anak. "Kalau anak justru tertekan karena tuntutan orang tua, bagaimana?" tandas Evi.

Tulisan Anak Lelaki Lebih Jelek ?

"Ah, nggak juga, kok!" tukas Dra. Evi Sukmaningrum. "Mungkin karena sejak kecil anak lelaki terbiasa melakukan kegiatan yang berhubungan dengan motorik kasar, sehingga lebih banyak menggunakan otot-otot besar dan seluruh tubuh," lanjutnya.

Itulah mengapa pada anak lelaki, latihan motorik halusnya sering terlewatkan atau tak terlalu terfokus. Sementara anak perempuan lebih sering melakukan kegiatan yang menggunakan motorik halus semisal menggunting atau meronce.

Jadi, bila anak sering dilatih untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan motorik halusnya, maka ia juga akan terlatih untuk akhirnya bisa menulis halus. "Semakin banyak latihan akan sangat membantu dan lama-lama si anak lelaki ini akan terbiasa dan yang terpola adalah gerakan tangan yang halus."

Soal tulisan yang jelek ini, menurut Evi, sebenarnya tak usah terlalu dipermasalahkan. Yang penting, tulisan tersebut masih bisa dibaca. "Sejauh ini dampak tulisan jelek belum sampai ke gangguan emosi. Malah ada, kok, anak yang tulisannya jelek tapi cuek saja."

Gangguan yang sering terjadi biasanya anak tak bisa membedakan antara huruf yang satu dengan yang lain, sehingga ia tak bisa menulis dengan sempurna. Gangguan ini bisa disebabkan faktor fungsi fisiologis atau karena waktu kecil anak terlalu ditekan.

Nah, kalau ini yang terjadi, menurut Evi, "Memang bisa membuat si anak tertekan dan tak percaya diri. Kok, teman yang lain sudah bisa menulis sedangkan aku belum."

Namun begitu, masalah ini juga tak akan sampai mengganggu perkembangan selanjutnya. Lain halnya bila si anak yang belum bisa menulis ini lantas diberi label sebagai anak bodoh oleh orang tua atau lingkungannya. "Nah, ini yang nantinya bisa mengganggu perkembangan anak."

Jadi, kalau ia belum pandai menulis, tak perlu panik!

Meningkatkan Minat Anak

* Berikan alat tulis yang enak dipakai. Misalnya, pensil yang empuk. Kalau pensilnya keras, anak jadi malas menulis karena ia sudah capek duluan lantaran energi yang dikeluarkan jadi lebih besar. Tak salah kalau akhirnya ia lebih mencari kegiatan lain ketimbang menulis.

* Lebih baik berikan pensil berwarna karena anak kecil suka warna-warni. Toh, ia sedang dalam tahap latihan. Lain halnya kalau ia memang sudah sekolah.

* Pada tahap awal, biarkan ia menulis di kertas besar lebih dulu. Jangan belum apa-apa sudah menuntutnya menulis di buku. Baru secara bertahap ia dilatih menulis di kertas yang lebih kecil, seperti buku.

* Jangan hanya menyuruh si anak menulis terus. Maksudnya, kalau ia mau menggambar, tak apa-apa. Nanti di atas atau di bawah gambar tersebut, minta ia untuk menuliskan apa yang digambarnya.

* Perbanyak aktivitas bermain. Toh, dalam bermain juga bisa diselipkan metode-metode pembelajaran termasuk menulis. Pokoknya, jadikan menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan.

Hasto Prianggoro/nakita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.