Laman

Minggu, 06 Juni 2010

Konsultasi Masih Perlukah Ujian itu?

Oleh: Mary Philia Elisabeth

Tahukah Anda, negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat
pertama di dunia? Peringkat pertama untuk kualitas pendidikan terbaik adalah
Finlandia. Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, di mana
perjanjian damai dengan GAM dirundingkan.

Peringkat pertama dunia ini diperoleh oleh negara Finlandia berdasarkan dari hasil survei internasional yang komprehensif pada 2003 dan dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA, tes yang mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan keunggulannya dalam pendidikan anak-anak keterbelakangan mental. Singkat kata, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Sedangkan posisi kedua ditempati Korea Selatan.

Saya menjadi tergelitik untuk cari tahu apa sih yang membuat Finlandia dinilai terbaik? Bagaimanakah potret pendidikan di negara tercinta kita? Apa yang kurang dengan sistem pendidikan di Indonesia? Kenapa bukan Indonesia yang terbaik? Kalau dibilang output-nya kurang, rasanya banyak pelajar kita yang cerdas dan memberi arti tentang kualitas pendidikan kita yang tidak bisa diremehkan. Tapi mengapa masih banyak yang mengatakan, kita tertinggal dengan pendidikan negara lain?

Saya bukanlah pakar pendidikan yang pantas memberikan kritik ataupun penilaian terhadap sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Tetapi saya hanyalah salah seorang di antara berjuta-juta warga negara Indonesia yang menuangkan pendapat melalui tulisan ini. Apalagi dengan gencar-gencarnya dan heboh-hebohnya masalah Ujian Nasional (UN) di Indonesia baru-baru ini.

Bagaimana beberapa pihak saling pro dan kontra tentang perlu tidaknya dilakukan UN, hingga akhirnya pada tahap pelaksanaan di mana beberapa sekolah melakukan trik-trik tertentu agar siswanya lolos UN. Nah, jadi sebenarnya tujuan ujian itu apa ya? Sepanjang pengetahuan saya, ujian adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar. Tetapi kira-kira kenapa sampai banyak sekolah merasa perlu melakukan trik-trik khusus, yang negatif sekalipun?

Ketika kita sedang asyik berdebat tentang UN, mari kita sedikit mengintip bagaimana sistem pendidikan di Finlandia. Dalam survei internasional PISA bidang matematika terlihat suatu ketimpangan yang sangat mencolok antara Finlandia yang menempati peringkat teratas dengan Indonesia yang menempati peringkat terbawah. Survei tersebut juga menunjukkan, hanya satu di antara tujuh pelajar Indonesia yang mampu menunjukkan kompetensi higher order of thinking seperti problem solving, sementara di Finlandia ada lima.

Jika membandingkan Indonesia dengan negara yang ekonominya sangat maju seperti Finlandia dianggap terlalu berlebihan, maka mengetahui posisi Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (Education Development Index) yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yang dipublikasikan dalam Global Monitoring Report 2008 oleh UNESCO sebenarnya malah semakin membuktikan peringkat Indonesia memang rendah, bahkan bila dibandingkan dengan negara tetangga sekalipun, semisal Malaysia.

Finlandia tidaklah menggembleng siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun. Mengapa negara yang cenderung sangat “longgar” perlakuannya terhadap peserta didik ini dapat meraih peringkat lebih tinggi dalam PISA daripada Korea Selatan yang beban belajar bagi masing-masing peserta didiknya adalah 50 jam per minggu, sangat padat bila dibandingkan dengan Finlandia yang hanya 30 jam per minggu. Terlebih lagi, sistem pendidikan Finlandia tidaklah mengenal UN sebagaimana Indonesia yang telah menjadikannya sebagai ritual tahunan.

Finlandia juga tidak mengenal adanya sistem ranking, maupun peserta didik yang tinggal kelas, apalagi tidak lulus sekolah, tidak seperti yang terjadi di Indonesia. Apa rahasia keberhasilan Finlandia?

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, para pendidik di Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. “Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian.” ungkap seorang guru di Finlandia.

Saat usia 18 tahun, siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Siswa diajarkan untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK. “Ini membantu siswa belajar betanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri,” kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. ”Dan kalau mereka bertanggungjawab, mereka akan bekerja lebih bebas. Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.”

Siswa didorong untuk bekerja secara mandiri dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Guru tidak lagi menggunakan metode ceramah.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan, tetapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai. Contohnya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan lain sebagainya. Kalau mendapat PR, siswa bahkan tidak perlu menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha mengerjakannya.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan ‘Kamu salah!’ pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa merasa malu. Dan jika mereka merasa malu, maka perasaan tersebut akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.

Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.

Jadi, dapat kita simpulkan, bahwa kunci utama untuk memiliki kualitas pendidikan yang terbaik adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa,” kata seorang guru, ”maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”. Wow...refleksi luar biasa dari seorang guru. Bagaimana Indonesia? Siapkah menjawab tantangan pendidikan ini? Ibarat pohon, jika pohon menghasilkan buah yang rasanya pahit, ada 2 kemungkinan sumber masalahnya, bibitnya atau perlakuan terhadap bibit tersebut. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.