Laman

Senin, 21 Juni 2010

Pasar Kue Subuh Senen yang Tak Ada Matinya

Siti Ruqoyah - Okezone
Pasar kue subuh. (Foto: blogspot.com)

WAKTU malam yang mestinya digunakan oleh kebayakan orang untuk istirahat, tetapi tidak berlaku bagi para pedagang kue di Pasar Kue Subuh, Senen, Jakarta Pusat. Sesuai namanya, pasar ini justru akan ramai dengan jual beli menjelang waktu subuh. Pasar ini sudah ada sejak tahun 70-an dan hingga saat ini masih eksis di tengah gencarnya ekspansi pasar modern.

Geliat ekonomi di pasar tradisional ini sebenarnya mulai terasa sejak pukul 19.00 WIB. Para pedagang sudah mulai berbenah menyiapkan barang jualannya. Kue basah yang dijajakan di antaranya, cucur, putu ayu, lemper, dadar gulung, bolu, kue talam, lapis kanji, bika ambon, pastel, tahu isi, risol, pastel, dan kue soes.

Selain itu, ada juga kue kering yang diwadahi toples transparan seperti kripik singkong, tempe kering, kastangle, lidah kucing, kacang atom, dan nastar, dan lainnya.

Harga yang ditawarkan terbilang murah. Misalnya, kue basah semacam bolu dijual Rp800-Rp1.000 per potong, kue kering Rp2.500-Rp 15.000 per toples, sedangkan black forest, cake, kue tar hanya Rp25.000 sampai Rp100.000.

Kebanyakan penjual kue di sana bukan pemilik langsung melainkan dia adalah seorang yang bertugas menjualkan kue yang telah disediakan oleh pemilik kue. "Kisaran kue basah yang terdiri dari pisang bugis itu harganya Rp500. sedangkan kue kering ada yang harganya Rp1.000," ujar Arif saat berjualan di Pasar Subuh Senen, kepada okezone.

Pria yang sudah bekerja selama tiga tahun ini pernah mengalami pengalaman dari para pelanggan yang tidak menyenangkan. "Ada yang datang untuk mencoba kue, sudah dicicip lalu tidak jadi membeli. Saya suka rada kesel sih, tapi alasannya mereka tidak cocok sama seleranya," ungkapnya.

Jika pada malam harinya bekerja, maka siang harinya tidur karena kebagian yang menjual kuenya. "Saya tidak punya pekerjaan apa pun selain menjual kue ini saja. Saya di Jakarta tinggal dengan kakak. Awalnya cuma iseng-iseng saja jualan, malah keterusan," ungkapnya.

Penghasilan per bulan terbilang cukup, karena jika semakin banyak yang terjual maka dapat uang tambahan. "Saya kan sistemnya untung-untungan, sebisa mungkin terjual banyak tiap harinya. Rp2 juta per bulan itu jika keadaan normal, kalau ada borongan bisa lebih besar lagi," tutupnya.

Menurut Tami yang telah berdagang hampir empat tahun, pembeli di Pasar Subuh rata-rata mereka yang menjual kembali kue-kue tersebut, seperti di warung dan kantin.

Dia mengaku untuk berjualan di tempat itu harus membayar uang sewa tempat sekira Rp3 juta rupiah per mejanya. Kendati terbilang mahal, biaya tersebut bisa ditutupi dengan hasil penjualan yang cukup besar. "Setiap bulannya bisa mengumpulkan Rp7 juta," ujar Tami.

Pasar Kue Subuh Senen menjadi gambaran tidak pernah matinya aktivitas jual beli di Jakarta. Pasar ini seolah-olah menjadi pasar induk untuk produk makanan kecil, selain menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Keberadaan pasar ini juga mengangkat home industry dengan omzet puluhan juta rupiah.

Geliat ekonomi di kawasan Senen sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Belanda. Sekitar tahun 1735, mantan pejabat VOC Justinus Cornelis Vincke melihat Jakarta sebagai pusat pemerintahan akan berkembang pesat sehingga membutuhkan pasar.

Sebab itu, Justinus membangun pasar tak jauh dari lokasi Istana Weltevreden yang tak jauh dari Pasar Tanah Abang dan dinamai Vincke Paseer. Ketika itu, pasar beroperasi hanya hari Senin. Lama-kelamaan masyarakat menyebutnya dengan Pasar Senen.

Pada tahun 1795, vincke membangun sebuah jalan yang membujur dari timur ke barat dan menghubungkan Pasar Senen dengan Pasar Tanah Abang. Adanya akses ini memicu migrasi besar-besaran sehingga banyak warga yang menetap di kawasan tersebut. Roda ekonomi semakin cepat berputar setelah masuknya teknologi mesin uap, kereta api, dan kendaraan bermotor.

Tak ayal, mulai tahun 1900-an, kawasan Senen mulai menggantikan kawasan Kota, Jakarta Barat sebagai pusat militer dan pemerintahan. Perubahan nampak nyata memasuki tahun 1960-1970, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendirikan gedung Pasar Senen, pasar inpres, dan terminal bus.

Imbasnya, transaksi perdagangan di kawasan Senen terus berkembang berkat adanya terminal. Memasuki era 1987-1992, kawasan Senen bertambah ramai dengan dibangunnya Atrium yang menyediakan fasilitas perkantoran, hotel, rumah toko dan pusat perbelanjaan modern. Di tengah himpitan pusat perbelanjaan modern, aktivitas kue subuh masih tetap berjalan hingga sekarang. (ram)
(hri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.