Laman

Selasa, 08 Juni 2010

Plastik Bergaya Keramik

Jakarta – Polymer clay mungkin masih barang baru di Indonesia, tapi di Amerika Serikat sudah menjadi hobi. Buat mereka yang tak suka berkotor-kotor, dia menjadi alternatif untuk berkreasi. Dengan bahan sejenis plastik khusus ini, pehobi bebas menciptakan barang hiasan, tanpa batas. Karena sifatnya yang tak mengotori tangan, polymer clay cepat disukai anak-anak dan ibu-ibu.

Sh/Str-Agung Prabowo
Karena keluwesannya, model apa pun bisa dibuat, misalnya diaroma mungil atau hiasan dinding kecil untuk menyambut
Natal.

Di Indonesia kehadiran disambut meriah walau baru setahun diintroduksi oleh Blue Berry. Galeri kerajinan yang terletak di Kemang itu, kebanjiran pehobi yang ingin mempelajarinya. Sampai-sampai Elisabeth Wahyu (28), pengelola sekaligus pengajarnya, dibuat sibuk mengatur jadwal kelas. Tercatat yang telah selesai mengikuti kursus sebanyak 300 orang, sedang 50 orang lagi masih dalam proses belajar.
Menurut Elis, begitu panggilannya, animo masyarakat terhadap kegiatan kreatif ini luar biasa. Sampai-sampai dia tak sanggup melayani permintaaan yang datang dari luar Jakarta. Bukannya tak mau, tapi karena keterbatasan sdm dan ingin menjaga mutu. Kalau dia paksakan berakibat pada pembekalan teori dan praktek yang kurang matang. Dia tak bisa konsentrasi karena terburu-buru harus bolak-balik ke kota untuk mengajar.
”Mungkin untuk masa sekarang belum dulu deh ke luar kota. Nanti-nanti kalau di sini sudah mantap,” ujar ibu satu anak itu. Menurutnya, dalam proses pembekalan teknik dibutuhkan keseriusan, walau produk yang dihasilkan terkesan lucu dan imut. Tidak mudah membuat benda-benda hiasan dari polymer clay. Proses yang sulit adalah membiasakan tangan untuk memijit-mijitnya. Tiap orang, sambungnya, punya feeling yang berbeda sehingga jangan heran jika hasil akhir yang dibuat oleh dua orang pun bisa berbeda, walau produk yang dibuat sama.

Plastik dari Jerman
Polymer clay ditemukan pertama kali tahun 1930 dan berasal dari Jerman. Dia merupakan salah satu produk plastik yang dikenal dengan nama polyvinyl chloride atau PVC yang dicampur warna dan bahan kimia lainnya sehingga tidak keras. Kekenyalannya mirip lilin malam. Dia baru mengeras jika dipanaskan. Penggunaan di awal ketika ditemukan, belum serumit sekarang. Masih terbatas pada pembuatan house hold yang gampang.
Karena sifatnya yang mirip lilin, orang mulai banyak yang menyukai. Kalau salah bisa dibongkar berkali-kali dan dibentuk lagi, sampai didapat hasil yang diinginkan. Barulah produk itu dipanaskan agar menjadi keras. Menurut Elis, proses pemanasannya tidak serumit seperti pada proses pembakaran keramik yang membutuhkan tungku. Dia cukup dimasukkan dalam oven rumah tangga yang mempunyai timer dan penunjuk (suhu) panas.
”Waktunya hanya 10 menit dengan suhu 140 derajat sampai 160 derajat Celsius. Pemanasannya juga tergantung oven. Makanya sebelum dimasukkan ke dalam oven, lakukan tes dulu supaya hasilnya tidak mengecewakan.” Ditambahkannya, ada produk yang dipanaskan setelah 10 menit ternyata masih lembek. Jika demikian, masukkan lagi sampai didapat waktu yang pas untuk proses pengerasannya. Tapi perhatikan juga, jangan terlalu lama, karena bisa gosong dan baunya kurang sedap.

Serba bisa
Hadirnya polymer clay membuat orang jadi mudah berkreasi. Apa saja bisa diaplikasikan lewat plastik ajaib ini. Tapi syaratnya harus menguasai ilmunya. ”Apa saja bisa dibuat, mulai pigura foto, aksesori, boneka, bunga, binatang sampai profil wajah orang,” ujar lulusan Loyola Mary Mount University itu.
Untuk membentuk berbagai macam model itu, selain butuh keterampilan tangan, juga alat-alat bantu lainnya. Misalnya moulding (alat giling), cetakan, clay gun yang jika dipencet akan mengeluarkan ”mie.”
Ini dipakai untuk membuat rambut pada boneka. Juga pisau khusus untuk memotong lempengan. Jika memakai pisau biasa, hasil irisan akan meninggalkan bekas. Tetapi dengan pisau ini, hasil potongannya bersih. Lalu alat pelubang jika ingin membuat mote (beads) untuk kalung, dan masih banyak lagi alat yang dibutuhkan.
Perkenalan Elis dengan benda itu juga ketika dia sedang belajar di Amerika Serikat tahun 1997-2001. Di sana banyak craft store yang menjual aneka produk jadi dan bahan-bahannya. Salah satu yang menarik adalah polymer clay, yang menurutnya, mirip membuat kue. Elis lalu teringat ketika kecil sering melihat ibunya membuat kue. Maka dicobanya dan akhirnya ketagihan.
Perkembangan polymer clay di negara penemunya, Jerman, justru tak menggebu-gebu seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, menurut Elis, banyak artis polymer clay yang hebat. Mereka masing-masing menguasai satu bidang. Jadi jika ingin melihat karya bunga yang terbaik, lihatlah artis ini. Atau jika mau tahu siapa pembuat wajah orang yang beken, pasti si anu.
Karena perkembangannya cukup heboh, polymer clay di sana menjadi komoditas sekaligus hobi yang kreatif. Beberapa perusahaan pembuat bahan baku dan peralatannya kebanjiran dolar akibat berduyun-duyunnya orang membuat kerajinan dengan bahan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan pehobi, kini sudah tersedia 40 warna. Dari warna-warna ini, bisa dibuat warna baru dengan mencampurkan antarbahan.
Tak heran jika pehobi di Amerika Serikat kesenangan karena kreasi mereka menjadi tak terbatas. Warna-warna gradasi bisa dibuat dengan mencampur dua bahan sekaligus, misalnya merah tua dan merah muda. Caranya, bahan-bahan itu dipotong lalu digiling bersamaan dengan alat bantu, menjadi lempengan. Maka lempengan yang terbentuk memperlihatkan gradasi warna merah muda dan merah tua. Dari lempengan ini bisa dibentuk jadi kelopak bunga mawar dan sebagainya.

Perkembangan
Tiap tahun ada saja perkembangan baru yang terjadi di sana. Bisa saja ada warna baru dan alat bantu yang khusus. Jadi mau tak mau, seseorang yang mendalaminya harus terus belajar. Sebab ada bentukan atau model yang hanya bisa dibuat dengan alat tertentu yang baru saja dikeluarkan. Untuk menguasai teknik itu, pehobi harus mempelajarinya lagi. ”Tidak ada kata malas jika mau menekuni polymer clay,” ujarnya.
Di Jepang hobi ini juga berkembang, namun memakai bahan baku yang berbeda yakni yang berbasis kertas. Namun warnanya baru ada tujuh macam. Pembuatannya tak perlu dipanaskan. Di sana julukannya paper clay atau sering juga disebut deco clay. Jika bahan tersebut akan dibuat sesuatu, harus cepat diselesaikan. Sebab jika kelebihan waktu, paper clay akan mengering. Kalau salah dia tak bisa dibongkar ulang, namun praktis karena untuk mengeringkan cukup diangin-anginkan.
Sepulangnya ke Indonesia Elis mencoba memperdalam lagi lewat eksperimen dan praktek. Produk yang dibuatnya, menurut teman-temannya, lucu dan unik. Maka dengan bulat hati hasil hobinya itu dipamerkan di gerai sebuah mal. Ternyata tanggapan publik positif. Ide untuk mengembangkan dengan menularkan ilmu pada khalayak munculnya baru tahun lalu.
Berbekal modal sedikit dan dibantu teman-teman ibunya, dia membuka craft centre di Kemang. Orang yang melihat pasti tertarik ingin belajar polymer clay. Semua muridnya ”terjaring” berawal dari rasa penasaran ketika menyaksikan boneka mini, binatang atau aksesori yang dipajang di gerainya di Mal Pondok Indah dan Pasaraya. Juga dari mulut ke mulut.
Ketertarikan mereka untuk mempelajari hobi baru ini, menurut Elis, karena bisa menuangkan imajinasi dengan bebas, ditambah lagi warna-warnanya menarik. Mungkin juga karena tangan tidak kotor. Yang menggembirakan dengan hadirnya polymer clay, banyak anak-anak yang tertarik belajar. Sejak kecil jika terbiasa melatih ketekunan dengan tangan, membuat anak menjadi tenang dan sabar.

Pengisi Waktu Senggang
Ibu-ibu yang mengambil keterampilan ini pancarannya anteng karena waktunya terisi dengan kegiatan yang menuntut kreativitas. Produk yang dibuat mereka rata-rata bagus, karena biasanya perempuan tekun jika mengerjakan sesuatu. Beberapa mantan murid Elis yang buatannya bagus, ditawarkan untuk memamerkan hasil karyanya di gerai Elis. ”Mereka hobi membuat, namun tidak suka jualan. Makanya saya pun terbantu dengan adanya mereka, karena banyak pesanan suvenir yang mengalir.”
Di Blue Berry ada kelas untuk anak di bawah 7 tahun, kelas 7-14 tahun, dan kelas dewasa. Kelas dewasa dibagi, ada pemula, lanjutan 1 dan lanjutan 2. Kelas anak diajarkan bentuk dasar dulu; bulat gepeng dan bentuk air mata (tear drops). Mereka diajar untuk melemaskan jemarinya agar get feeling sama clay-nya.
Untuk dewasa pemula, dilatih memotong kecil-kecil, membuat buah, keranjang, juga mencampur warna untuk mencari efek gradasi yang pas. Di kelas lanjutan 1, ada kelas yang khusus membuat floral, jewelry (kalung), bros dan patung orang-orangan dalam frame. Sedang di kelas lanjutan 2, mereka belajar membuat bunga anggrek, napkin ring (cincin serbet) dan jenis barang yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.
Di kelas jewelry ini, menurut Elis, banyak ibu-ibu yang menyukai karena di sini mereka diajarkan teknik membuat mote dengan gradasi warna yang komplek. Dengan menguasai teknik ini, pehobi aksesori bisa membuat kalung eksklusif untuk dipakai sendiri. Warna-warnanya yang lahir adalah warna yang tak ada di pasaran. ”Orang sering nggak sangka kalau dari polymer clay bisa dibuat kalung seperti batu giok, saking miripnya,” ujar Elis. (SH/gatot irawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.