Laman

Rabu, 16 Juni 2010

Sempat Mati Suri, Batik Tulisnya Kini Tembus Rp150 Juta/Bulan

Sugeng Wahyudi - Okezone
Santoso Hartono Foto: Koran SI

USAHA batik tulis Lasem yang sekarang digeluti Santoso Hartono sempat mati suri. Santoso lantas menghidupkannya lagi hingga dapat berkembang seperti saat ini.

Tahun 2004 bagi Santoso menjadi masa yang tak bisa dilupakan dalam perjalanan hidupnya menjadi pengusaha batik. Tahun itu adalah awal baginya memulai lembaran baru karena memutuskan menikah.

Di saat itu pula, dia yang masih menganggur lantaran baru saja kehilangan pekerjaan di Jakarta memberanikan diri untuk mengambil alih usaha kerajinan batik tulis Lasem yang dikembangkan keluarganya secara turun-temurun.

“Sewaktu saya pulang, usaha kerajinan batik keluarga seperti tengah menuju kebangkrutan. Saya yang sudah memiliki kewajiban menafkahi keluarga memberanikan diri untuk mengelolanya,” ungkap pria yang terlihat ramah ini.

Sebelum memutuskan hijrah ke kampung halaman, Santoso mengaku lama merantau di Jakarta. Di Ibu Kota, Santoso mengaku bekerja apa saja. Semasa perantauannya tersebut dia bahkan sempat digaji Rp45 ribu per bulan.

“Masa-masa sulit di Jakarta terkadang membuat saya miris sendiri saat mengingatnya. Syukur sekarang semuanya sudah berubah,” tutur pria yang berpembawaan sederhana ini.

Awalnya memang tak mudah bagi Santoso yang buta tentang batik, menyelami dunia yang sama sekali baru. Tapi,dengan modal tekad dan keyakinan serta niat meneruskan bisnis keluarga, Santoso yakin dengan jalan yang telah diambilnya. Jalan pertama yang dia ambil untuk meneruskan bisnis keluarga adalah dengan mengumpulkan perajin.

Kebetulan, banyak perajin batik yang sempat bekerja dengan keluarganya memilih keluar karena bayaran yang tak sesuai, imbas dari kembang kempisnya usaha. Setelah mengumpulkan perajin, Santoso berusaha meningkatkan bayaran mereka. Tujuannya agar perajin fokus bekerja menghasilkan produk berkualitas. Upaya yang dilakukan Santoso sebenarnya mengandung risiko karena usahanya belum berkembang. Namun, Santoso berpendapat lain.

Menurutnya, upah perajin mesti diperbaiki dulu sehingga mampu menghasilkan produk berkualitas yang nantinya memiliki nilai jual tinggi. Benar saja, upaya Santoso ternyata berhasil. Perlahan namun pasti, usaha batik Lasem kembali berdenyut.

Itu bisa terlihat dari bertambahnya perajin binaan Santoso yang awalnya hanya bisa dihitung dengan jari, kini telah mencapai 300-an perajin. Produk yang dihasilkan pun semakin beragam dengan aneka motif dan corak menarik. Sekira 300 perajin yang menjadi binaan Santoso setidaknya mampu memproduksi beragam corak dan motif batik. Setiap perajin membutuhkan waktu empat hari untuk menyelesaikan satu produk.

Ada juga yang menyelesaikan satu produk selama sebulan dengan rata-rata tiap perajin menghasilkan satu produk selama sepuluh hari, bergantung motif yang dia kerjakan serta tingkat kesulitannya. Tak elok rasanya jika bicara kesuksesan Santoso menghidupkan kembali usaha batik tulis Lasem tanpa mengetahui latar belakang perkembangan batik Lasem sendiri di daerah asalnya, Karanganyar, Semarang.

Dari cerita yang beredar, perkembangan batik Lasem berawal dari pedagang perantauan Tionghoa yang datang ke wilayah Lasem. Mereka berdagang dan memengaruhi sistem perekonomian di wilayah Lasem. Warga masyarakat Lasem umumnya adalah pembatik dan hasil batikannya dijual sebagai komoditi perdagangan yang cukup ramai.

Melihat peluang ini, pedagang Tionghoa mencoba masuk ke sistem perdagangan batik dan memengaruhi corak batik di daerah ini. Awalnya batik dengan corak gaya Tionghoa diperuntukkan untuk perempuan Tionghoa yang sudah berumur dan biasanya dikenal sebagai batik encim.

Pengaruh corak Keraton Solo dan Yogyakarta kemudian juga memengaruhi batik Lasem.Ini terbukti dengan adanya motif kawung dan parang. Sedangkan pengaruh wilayah pesisir adalah penggunaan warna yang cerah, cenderung ke warna merah darah. Ciri kental pada batik ini yakni terdapatnya corak hias burung hong dan binatang kilinatau singa. Selain itu, batik Lasem juga memiliki ciri khas motif latohan dan watu pecah.

Motif latohan didapat dari motif tumbuhan latoh, sejenis rumput laut yang menjadi makanan khas masyarakat Lasem. Motif watu pecah merupakan ekspresi kejengkelan warga masyarakat Lasem terhadap proyek Daendles yang banyak menelan korban jiwa.

Terkait dengan sejarah perkembangan batik tulis Lasem sendiri, Santoso mengaku tak begitu memahaminya. Santoso sebatas tahu cerita tersebut dari kisah mulut ke mulut. “Kalau Lasem itu asalnya dari masyarakat China Peranakan, saya tahu. Tapi, saya enggak tahu banyak sejarahnya.Yang saya tahu, dulu di Lasem tepatnya di Desa Kemendung ada wanita keturunan China namanya Putri Cempa. Katanya, batik Lasem itu dulu dibuat oleh keturunan Putri Cempa ini,” ungkapnya.

Apa pun itu, Santoso mengaku berusaha tetap menghargai sejarah. Terbukti dia mempertahankan ciri khas batik Lasem lainnya yakni coraknya benar-benar ditulis atau diukir sendiri oleh para perajinnya, bukan dicetak. Warna khas yang melekat, salah satunya warna yang menjadi khas masyarakat Tionghoa, merah, biru, dan hijau, juga tetap dipertahankan.

Dalam perkembangannya, Santoso melakukan inovasi.Salah satu inovasi yang dilakukan Santoso dan perajin batik Lasem lainnya adalah membuat motif yang lebih “gaul”. Kata dia, motif yang lebih disukai oleh anak muda.

Selain merangkul pasar yang lebih luas, diharapkan juga bisa mengajak generasi muda untuk mencintai produk khas dalam negeri. Upaya Santoso membuat batik tulis Lasem tampil lebih trendi ternyata turut mendongkrak omzet penjualan.

Omzet batik tulis Lasem setiap bulan kini mencapai rata-rata Rp150 juta. Angka itu belum termasuk dari penjualan yang dilakukan pada ajang pameran yang juga banyak diikuti Santoso. Seperti saat mengikuti gelaran pameran Inacraft 2010 atas fasilitas Bank Rakyat Indonesia.

Batik tulis Lasem yang menjadi mitra binaan Bank BRI memang kerap diikutkan dalam beragam pameran, baik di daerah maupun skala nasional.Menurut Santoso, upaya Bank BRI mengikutkan usahanya di ajang pameran, selain memberikan bantuan kredit, juga sangat membantu perkembangan bisnisnya terutama dari segi promosi.

Di tengah persaingan bisnis batik yang semakin ketat, seiring keputusan UNESCO yang menetapkan batik sebagai warisan leluhur bangsa yang patut dijaga dan dipelihara, batik tulis Lasem terus melakukan inovasi agar produknya tetap diterima masyarakat.

Dengan sekira 1.000 motif dan 600 gambar belum terproduksi, batik tulis Lasem berupaya untuk terus memanjakan konsumen, terutama pencinta batik dalam negeri. Santoso optimistis, dengan sekira 600 gambar yang belum terproduksi, ke depan batik tulis Lasem akan lebih berkembang.

Terlebih batik tulis Lasem menyasar semua kalangan konsumen. Mulai dari harga termurah Rp100 ribu hingga harga termahal yang mencapai Rp1,5 juta. Santoso berharap, makin berkibarnya batik Lasem juga semakin mendekatkan cita-citanya untuk mengenalkan produknya hingga ke mancanegara. (adn)
(rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.