Laman

Kamis, 10 Juni 2010

Warisan Budaya Bawah Air

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembangan warisan budaya bawah air di Indonesia memiliki potensi tinggi. Hal ini disebabkan karena persebarannya sangat luas, meliputi beberapa kawasan seperti Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, perairan Maluku, juga di utara pulau Jawa.

Menurut catatan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan, diperkirakan ada sekitar 463 situs yang berupa temuan kapal karam memuat barang berharga di perairan tersebut. Bahkan, catatan VOC menyebut sekitar 250 nama tempat yang diperkirakan lokasi kapal tenggelam berada di perairan Indonesia. Jumlah yang sangat fantastik.

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Hari Untoro Dradjat, mengatakan hal itu pada Lokakarya Pembahasan "The UNESCO Convention on Protection of the Underwater Cultural Heritage untuk Membangun Jadi Diri Bangsa", Rabu (2/6/2010) di Jakarta.

"Semangat konvensi untuk melindungi dan memelihara warisan budaya bawah air menjadi tanggung jawan setiap negara. Dalam hal ini kewajiban setiap negara untuk turut melestarikan warisan budaya bawah air di wilayah kedaulatannya," katanya.

Menurut Hari Untoro, konvensi warisan budaya bawah air merupakan bagian integral dari warisan budaya umat manusia, heritage of humanity, yang berarti bahwa warisan budawa bawah air merupakan elemen penting bagi pemahaman sejarah perkembangan masyarakat, bangsa, dan keterkaitan hubungan satu dengan yang lain berkenaan dengan warisan budaya bersama.

Konsep di dalam konvensi menempatkan perlindungan dan pemeliharaan menjadi visi utama. Oleh karena itu, setiap ada perubahan yang merupakan usaha manusia untuk memanfaatkan warisan budaya bawah air wajib dipertanggungjawabkan secara akademis. Atau setiap aktivitas yang bertalian dengan warisan budaya bawah air harus memenuhi sisi akademis.

Hari Untoro mengakui, mengingat jumlah situs bawah air sangat banyak dan tersebar di berbagai wilayah dengan keluasan pantai yang demikian luas, menyebabkan usaha untuk mengamankannya menjadi sulit.

Diketahui beberapa situs rusak karena terjadinya ekskavasi secara illegal. Ada pula kapal karam yang masih in-situ tidak diangkat namun digunakan untuk kepentingan pariwisata seperti situs Tulamben, Bali.

"Situs-situs arkeologi bawah air lainnya masih menunggu untuk dikelola dan dimanfaatkan secara lebih baik untuk kepentingan ekonomi, sosial maupun budaya. Untuk menghindari pengambilan barang-barang dalam kapal karam diperlukan pengelolaan secara terpadu," tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.