Laman

Kamis, 11 November 2010

Anak Kritis, Orangtua Tidak Perlu Takut

Nurul Arifin - Okezone
Detail Berita
Anak kritis, orangtua jangan takut. (Foto: Getty Images)

ORANGTUA mana yang tak heran melihat buah hatinya kritis? Anak yang kritis memiliki sifat tidak pernah puas dengan suatu hal, selalu ingin tahu lebih banyak. Ia akan terus bertanya hingga meraih jawaban yang memuaskan. Dengan pengetahuan itu, anak akan tumbuh menjadi percaya diri, berpengetahuan luas, dan pemberani.

Dikatakan psikolog asal Surabaya, Pradwana Paramitha, dalam mengembangkan daya kritis, anak memerlukan waktu yang lama dan bertahap. Selain itu, dibutuhkan juga kesabaran orangtua dalam mendidik anak sejak bayi hingga dewasa.

"Daya kritis anak bisa diasah sejak bayi, dengan cara mengenalkan benda-benda dan menyentuhkannya ke telapak tangan dan kakinya. Lewat itu anak dirangsang untuk mengenal benda-benda lembut, kasar, tumpul, dan agak tajam," kata alumnni Pendidikan Psikologi Universitas 17 Agustus ini.

Daya kritis anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasam emosional. Kecerdasan emosional ini untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi agar mampu melakukan respons secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut.

Berdasarkan penelitian, dalam diri anak peranan EQ memiliki kontribusi lebih besar dibanding IQ (intelligence Quotient). Hal tersebut disebabkan sepintar apapun anak, namun jika tidak bisa bergaul tentu akan mengurangi dia menyosialisasikan dan mengomunikasikan kekritisannya.

Orangtua sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam kehidupan anak memegang peranan penting, karena sebagian besar waktu dihabiskan di rumah bersama orangtua. Karena itu, orangtua berperan penting dalam pembentukan pribadi anak, yang pada akhirnya menentukan prestasi belajar anak selanjutnya.

Orangtua harus bisa memberikan motivasi pada anak yang bersifat eksternal, misalnya memberi dorongan semangat. Sebab, anak biasanya mempunyai kesulitan dalam memotivasi diri. Motivasi ini berkaitan dengan rentang perhatian yang dimiliki anak. Semakin tekun anak, maka rentang perhatiannya semakin besar.

"Jika si buah hati kritis, jangan takut ada peluang anak itu menjadi cerdas dan berani," imbuhnya.

Saat memasuki usia balita, anak umumnya semakin kritis hingga muncul istilah di kalangan orangtua "anak saya sedang cerewet-cerewetnya" saat itulah rasa ingin tahu anak sedang tumbuh. Semuanya ingin dipegang, dibuka, ditutup, dan ditanyakan. Pada kondisi ini, merupakan kesempatan bagi orangtua memberi informasi sebanyak-banyaknya.

Selain itu, memberi mereka peluang untuk meraba, mencicipi, membuka, mencoba semua hal yang membuatnya penasaran. Sementara bila anak diberi penjelasan, ia akan terpancing untuk bertanya lebih dalam. Bahkan kadang membuat orangtua kebingungan mencari jawaban yang cocok.

Cara lain untuk mengembangkan daya kritis anak adalah, memberinya permainan edukatif yang merangsang kemampuan motorik. Permainan tersebut akan membuatnya berpikir keras, mencari jalan hingga terbentuk permainan yang diidamkannya.

Balok yang disusun seadanya menurut anak adalah sebuah gedung bertingkat, sementara bagi orangtua bukan apa-apa. Sebaiknya, permainan yang diberikan harus sesuai dengan keinginan anak.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa permainan edukatif mampu mengembangkan inteligensi anak. Namun orangtua harus tetap memerhatikan keinginan anak. Bagaimanapun hebatnya alat permainan edukatif itu jika anak tidak suka, maka anak akan tertekan, bukan menjadi kritis.

(nsa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.