Laman

Jumat, 18 Februari 2011

Kerajinan Kulit Kerang Rambah Pasar Internasional


Di tangan Nur Handiah Jaime Taguba, kulit kerang simping atau capiz shell tak lagi hanya sampah. Dengan kreativitasnya, kulit kerang yang bertebaran di pantai Cirebon, Jawa Barat, itu menjadi berbagai perkakas bernilai dollar AS. Pemilik Perusahaan Multi Dimensi Shell Craft ini yang mampu membawa kulit kerang pantura menembus dunia.

Pasar kerajinan kulit kerang di Eropa dan Amerika Serikat yang sebelumnya hanya dikuasi Filipina telah ia jajaki. Jerman, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman, Polandia, Bulgaria, Rusia, dan Amerika Serikat menjadi negara-negara tujuan ekspornya selama ini.

Setiap bulannya perusahaan yang ia pimpin bisa mengirim sekitar dua kontainer kerajinan ke pasar internasional. Sebuah volume ekspor yang tidak kecil bagi pengusaha yang memulai usaha dari nol ini.

Kesuksesan Nur itu berawal dari kejeliannya melihat peluang. Awalnya perempuan kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, sekitar 49 tahun yang lalu itu memanfaatkan tumpukan kulit kerang untuk diekspor ke Filipina pada tahun 2000.

Kebetulan ibu dari lima anak ini mempunyai relasi dengan para perajin kulit kerang di tanah kelahiran suaminya, Jaime Taguba, di Filipina.
”Awalnya hanya menyuplai bahan baku saja. Kebetulan pembuatan kerajinannya ada di Filipina. Jadi, kami memasok bahan bakunya,” kata Nur di bengkel kerjanya.

Meski sudah mampu mengurangi sampah pantai dan ikut terlibat dalam menghidupi warga sekitar, termasuk nelayan, Nur tidak ingin berhenti di titik itu.

Menurutnya kerang yang ia kirimkan seharusnya bisa lebih berharga lagi jika ada nilai tambahnya. Akhirnya ia mulai menjual bahan baku dengan kondisi lebih baik lagi, yakni yang sudah dibersihkan. Dari hasil jual kulit kerang bersih itu, ia bisa mendapatkan hasil yang lebih dan bisa mempekerjakan lebih banyak orang.

Dalam perkembangannya, Nur pun berinisiatif menggeluti industri kerajinan sendiri. Dibantu sang suami, Nur mengawali kreativitasnya dalam mengolah kulit kerang menjadi kap lampu di bengkel kerjanya di Astapada, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon.

Mulanya hanya jenis lampu gantung, lalu berkembang menjadi berbagai macam produk lain dengan model dan ukuran. Lampu duduk, misalnya, ada yang model berdiri serta ditempel di dinding. Kesemuanya menggunakan bahan kulit kerang, terutama kerang simping yang diperolehnya dari para nelayan di pantura.

Dari sekadar lampu itu, hasil karyanya berkembang lagi menjadi furnitur. Meja rias dengan berbagai bentuk yang unik dan glamor, meja tamu, hingga kursi santai. Inovasinya terus mengalir hingga kemudian muncul dinding berornamen kerang hingga lantai keramik dari kerang. Perhiasan mulai dari gelang, kalung, hingga anting pun tak luput dari bidikannya.

Bahannya pun tak lagi hanya dari kerang simping, tetapi juga dari kerang dara atau kerang lain yang selama ini juga hanya menjadi sampah dan terbuang begitu saja di tepi pantai. Sesuatu yang diyakini juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia, negara dengan lebih dari 17.000 pulau ini.

Dengan sentuhan seni dan kreativitas, sampah kulit kerang yang awalnya tak berharga itu kini berubah menjadi perkakas cantik dan glamor yang digemari masyarakat, terutama di Eropa.

Tujuh ruang pamernya di Cirebon, Bali, dan Jakarta kini penuh dengan berbagai macam hasil karya kerangnya. Bahkan, bisa dikatakan hanya menggambarkan sedikit dari karya yang telah ia buat.

Usahanya juga telah mengangkat perekonomian warga di sekitarnya. Jumlah karyawan di bengkel kerjanya kini tidak hanya 60 orang seperti saat ia memulai karier sebagai pengekspor kulit kerang, tetapi berkembang menjadi 500 orang. Mereka rata-rata adalah kaum perempuan dan ibu-ibu di sekitar pusat kerajinannya, yang awalnya tidak bekerja. Kini perekonomian keluarga mereka terbantu.

Kuncinya di kreativitas

Kreativitas selama ini memang menjadi kunci yang selalu dipegang Nur Handiah. Selama ini saingan berat bisnisnya adalah para perajin dari Filipina yang telah lebih dulu terjun dalam industri kulit kerang.

Nur memang sempat menyewa desain khusus. Namun, ia akhirnya lebih memilih belajar mendesain sendiri karena selama ini desainnya ternyata juga bisa diterima di pasaran internasional.

Bukan hal yang mudah menciptakan barang yang laku di pasaran. Demi sebuah ide, Nur harus meluangkan waktu untuk belajar, membuka wawasan, membaca berbagai rubrik desain, dan menyempatkan diri untuk berkontemplasi, bahkan survei.

Promosinya dalam mengenalkan kerajinan kulit kerangnya juga tak terbatas di dalam ruang pamer. Ketika harus bertemu dengan orang lain, perempuan yang selalu berpenampilan rapi ini mengenakan berbagai pernak-pernik dari kulit kerang, mulai dari aksesori hingga tas tangan. Semuanya agar langsung diketahui orang lain. Bahkan, rumahnya pun berhias kulit kerang.

Ia juga memutar otak untuk bisa membuat barangnya tetap terjangkau di pasaran. Dengan trik desain tertentu, sebuah sofa berhiaskan kulit kerang bisa berharga lebih murah dibandingkan dengan sofa yang dibuat oleh perajin dari Filipina. Dengan berbagai jalan itulah ia mampu bersaing dengan perajin luar negeri lain meski baru saja memulai bisnis sepuluh tahun lalu.

Nur mengakui, bisnisnya memang sempat surut ketika dunia digoyang krisis ekonomi akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009. Meski demikian, pasarnya tidak mati.

Permintaan dari Amerika Serikat memang berkurang, tetapi Eropa tetap memberikan tempat bagi kerajinannya. Kini pasar kerajinannya di Amerika Serikat berangsur-angsur pulih.

Di dalam negeri sendiri, kerajinan kulit kerang belum banyak ditiru oleh perajin lain. Padahal, bahan baku sangat mudah didapati. Nur tidak pernah kesulitan mendapatkan 60 ton kulit kerang setiap bulan untuk bahan bakunya. ”Mungkin orang mengira ini kerajinan dari sampah sehingga kurang menarik, mungkin juga karena keuntungannya kecil,” katanya merendah.

Meski demikian, Nur mengaku tetap setia pada kulit kerang. Menurutnya, yang penting bukan dari mana bahannya, tetapi jadi apa hasilnya. Bagi Nur, sampah bisa menjadi apa saja tergantung dari cara merawatnya. Jika dibuang, akan menjadi sampah. Namun, jika dirawat, bisa lebih berguna, misalnya kulit kerang bisa dinilai dalam dollar AS seperti apa yang telah ia lakukan.

Tak hanya Nur Handiah, kerajinan yang menggunakan bahan baku kulit kerang Kabupaten Cirebon juga banyak dipasarkan ke Spanyol karena permintaan barang tersebut di negeri itu cukup tinggi.
Ekspor kerajinan kulit kerang ke Spanyol antara dua hingga empat kontainer per bulan, kata Kadinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon Drs. Haki MSi didampingi Kabid Perdagangan dan Promosi Maman Suparman kepada wartawan di Sumber (Kabupaten Cirebon).
Ia mencontohkan, Januari lalu ekspor kerajinan kulit kerang ke Spanyol sebanyak empat kontainer senilai US$34,688,93 dan pada Februari hanya dua kontainer senilai US$43,977.27.
Ekspor Pebruari tampaknya menurun, tetapi nilainya jauh meningkat. "Itu disebabkan kualitas barang ekspor itu menunjukkan nilai yang tinggi," katanya.
Maman menambahkan, kerajinan kulit kerang di Kabupaten Cirebon tersebut bahan bakunya berasal dari Surabaya, Bali dan NTB.
Pengrajinnya pun berasal dari Palembang. "Jadi Kabupaten Cirebon tersebut sangat kondusif untuk mengembangkan kerajinan seperti kulit kerang," katanya.
Berbagai kerajinan kulit kerang yang diekspor tersebut seperti hiasan pintu, gorden dan hiasan lainnya.
Mengenai bahan baku tampaknya tidak mengalami kesulitan karena kulit kerang ada sepanjang tahun, sehingga tiap bulan bisa memenuhi permintaan importir luar negeri.
"Kerajinan kulit kerang itu agaknya bisa dilakukan setiap saat dan tidak bergantung pada musim," tambahnya.
Begitu juga dengan di Bandung, Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki kreativitas yang mumpuni. Berbagai produk hasil kreasi bangsa Indonesia telah banyak dihasilkan, bahkan terkadang diakui luas oleh masyarakat dunia.
Melalui kreativitas itu, muncul ide-ide baru nan segar yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti halnya yang dilakukan oleh Aditya Prima.
Berkat kreasinya, Aditya mampu menyulap kulit kerang menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi. Di tangannya, kulit kerang tak lagi hanya menjadi limbah laut yang tidak ada harganya.
Beragam produk kerajinan dari kulit kerang telah mampu dihasilkannya, mulai dari hiasan dinding, kap lampu, tempat tisu, sampai beragam bentuk kerajinan lainnya.
Aditya merintis usaha bersama sang kakak, Ade Padilah. "Usaha ini merupakan usaha keluarga," ujar Aditya kepada SH di sebuah pameran kerajinan di Bandung belum lama ini.
Telah 20 tahun lamanya Aditya dan Ade merintis usaha ini. Belum banyaknya produk kerajinan yang menggunakan bahan baku kulit kerang menjadi pertimbangan keduanya terjun ke kerajinan kulit kerang.
Padahal, sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi kerang yang cukup besar. Dan, kulit kerang tersebut masih dianggap sebagai limbah laut yang belum ada nilai ekonomisnya.
Dengan dibantu lima pekerjanya, Aditya mengolah kulit kerang menjadi produk bernilai ekonomis tinggi di bilangan Bekasi Timur. Menurutnya, produk kerajinan kulit kerangnya dijual dengan harga berkisar antara Rp 15.000-450.000.
Produk kerajinan kulit kerang ini telah merambah pasar seluruh Nusantara. "Ekspor belum dilakukan karena terkendala bahan baku," ungkap Aditya. Permintaan ekspor memang mulai diterima oleh Aditya, seperti ke Amerika Serikat dan Dubai, tetapi sayangnya permintaan itu tidak dapat dipenuhi.
Bahan baku, terutama pasir pantai yang terbatas, menjadi kendalanya. Aditya menyebutkan, pasir pantai dibutuhkan sebagai variasi dari produk kerajinan kulit kerangnya.
Pasir pantai yang dipergunakan jenisnya berbeda dibandingkan pasir pantai kebanyakan. Pasir pantai ini harus didatangkan dari Nusa Tenggara Barat (NTB).
Volume pasir pantai dari NTB sangat terbatas. Hal itulah yang menjadi kendala Aditya bisa memenuhi permintaan ekspor. Kalau untuk bahan baku kulit kerang, tidak ada masalah. Selalu ada stok yang mencukupi," timpal Aditya. Kulit kerang diperoleh dari nelayan di Cilacap, Pangandaran, maupun Palabuhan Ratu.
Butuh Satu Truk
Setidaknya setiap seminggu sekali dibutuhkan sekitar satu truk kulit kerang. Kulit kerang yang dipergunakan pun berasal dari berbagai jenis. Setiap hari, ia mampu menghasilkan sedikitnya satu jenis kerajinan kulit kerang. Kap lampu merupakan produk kerajinan yang pengerjaannya membutuhkan waktu lebih lama, yaitu antara 2-4
hari.
"Kami selalu berusaha membuat model-model terbaru," ujar pemuda yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMA ini. Oleh karenanya, diperlukan ide-ide kreatif untuk menghasilkan model terbaru.
Aditya sadar betul tanpa model-model terbaru, produk kerajinan kulit kerangnya akan ditinggalkan oleh konsumen. Terlebih saat ini jumlah perajin kulit kerang sudah semakin banyak di Indonesia.
Persaingan yang semakin ketat inilah yang membuat Aditya dituntut untuk selalu bisa berkreasi. Sebab, hanya dengan kreativitas kulit kerang tetap mempunyai nilai ekonomis tinggi yang diminati di pasaran.
Jepara pun tak ketinggalan. Usaha kecil kerajinan kulit kerang di pesisir Pantai Kartini, Jepara, Jawa Tengah, banyak diminati warga. Di antaranya cermin dari kerang, lampu, asbak, serta pernak-pernik lainnya. Maklum dari usaha modalnya relatif murah ini, pengrajin meraup keuntungan besar. Omzetnya mencapai Rp 5 juta per bulan.

Usaha itu muncul berawal dari rasa prihatin warga terhadap sampah kerang di pinggiran pantai. Wignyo, seorang pengrajin kerang kemudian berusaha mengolah sampah kerang menjadi sesuatu yang menghasilkan. Tak sia-sia. Kini pesanan berdatangan di antaranya dari Yogyakarta, Bali, dan Jakarta. (fn/km/kp/bv/klik kantor berita liputan6) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.