Laman

Jumat, 18 Februari 2011

Peluang Usaha Aneka Cemilan Dari Tanaman Liar

BANYUWANGI (Berita SuaraMedia) - Tanaman liar yang biasa tumbuh di pekarangan rumah, seperti cangkokan, pakis, dan sirih kini bisa dimanfaatkan untuk camilan. Termasuk juga bonggol pohon pisang, tak harus terbuang percuma.

Di tangan Pinisrih, 45 tahun, berbagai tanaman liar itu bisa jadi kripik yang enak di lidah. Selain sehat, Pinisrih membuktikan tanaman-tanaman itu bisa jadi peluang bisnis menggiurkan.

Pinisrih memproduksi camilan itu di rumahnya yang bergaya limasan seluas hampir satu hektar, di Desa Sragi, Kecamatan Songgon, Banyuwangi, Jawa Timur. Ia mempekerjakan 11 karyawan yang berasal dari sekitar rumahnya.

Sejauh ini ibu dua anak itu sudah mampu mengeluarkan puluhan produk camilan dari tanaman liar itu. Ada kripik sirih, pakis, daun mangkuk, kemangi, bayam, daun luntas, serta kerupuk bonggol pisang.

Daun-daunan itu digoreng kering bersama adonan tepung. Rasanya? Kurang lebih sama seperti saat Anda ngemil peyek. Namun, rasa gurih itu ditambah dengan rasa tiap-tiap tanaman. Sebut saja, bayam, ya rasa bayamnya akan tetap berasa di lidah. Yang esktrem adalah kripik sirih. Rasa sirihnya lebih kuat, sehingga serasa minum jamu.
Ibu yang mengaku hobi memasak ini, memulai usaha makanan sejak 1995 lalu dengan membuka pesanan kue basah, seperti donat dan cake. Setahun berikutnya, ia membuat kue-kue kering semacam pastel dan bagiak. Bagiak adalah jenis camilan khas Banyuwangi yang adonan utamanya dari tepung terigu.

Usaha istri Slamet Riyadi ini semakin berkembang saat ia mulai memproduksi kerupuk bonggol pisang. Barangkali camilan ini terdengar aneh, mengingat bonggol pisang tergolong limbah.

Ide ini muncul, ungkap sarjana pendidikan sejarah ini, dari sebuah pohon pisang yang pernah tumbuh di halaman rumahnya. Saat itu ia berpikir, bagian apa saja dari tanaman multi fungsi itu yang belum dimanfaatkan. Pikirannya langsung tertuju ke bonggol pisang, yang selama ini hanya teronggok di tempat sampah begitu pohon itu ditebang.

Mula-mula bonggol pisang akan dibuat keripik. Setelah dipotong lebar-lebar, dicelupkan ke adonan, lalu digoreng. Namun hasil uji pertama ini gagal. "Rasanya aneh, tidak nyaman," ujarnya.

Perempuan yang pernah menjadi guru sekolah dasar ini tidak patah semangat. Ia mencoba mengkombinasikan bonggol pisang dengan tepung tapioka. Namun bonggol pisang harus dihaluskan sebelum dicampur dengan tepung dan rempah dapur. Adonan kemudian dicetak, dan dijemur hingga kering. Setelah itu digoreng dengan minyak panas hingga mengembang. Jadilah kerupuk bonggol pisang yang akhirnya meroketkan nama Pinisrih di Banyuwangi.

Perempuan berjilbab ini terus berinovasi untuk menghasilkan camilan yang unik dan langka. Tahun 2008, ia membuat kerupuk lidah buaya. Sementara, keripik tanaman liar baru diproduksinya tahun 2009 lalu.

Menurut Pinisrih, berbagai daun-daunan itu ia beli di pasar dekat rumahnya. Untuk membuat kripik bayam, misalnya, ia biasanya membeli 50 ikat bayam seharga Rp 20 ribu. Lima puluh ikat bayam itu bisa jadi 30 bungkus kripik yang masing-masing beratnya 150 gram.

Berbagai kripik itu rata-rata dijual Rp 5 ribu per bungkus. Pasarnya sudah menjangkau Kalimantan, Sumatra, Jakarta, dan Bali. "Alhamdulillah omzetnya sudah Rp 450 ribu per hari," kata Pinisrih, akhir pekan lalu.

Namun, Pinisrih bukan tipe wirusaha yang pelit. Ia sering membagikan kiat dan resep usahanya itu ke warga sekitar rumahnya. Ia juga kerap diundang menjadi pelatih usaha kecil menengah yang biasa digelar Pemerintah Banyuwangi atau organisasi wanita.
Bonggol pisang, biasanya oleh masyarakat hanya akan dibuang setelah diambil buah pisangnya. Namun seperti Pinisrih, ditangan ibu-ibu di Dusun Polaman, Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, bonggol-bonggol pisang diolah menjadi makanan berupa kripik.
Dikatakan Sagiyem (50 tahun) salah satu pembuat keripik bonggol pisang yang masih bertahan hingga sekarang, bonggol pisang jenis kapok dan kluthuk mempunyai kualitas yang baik untuk diolah. Meski bahan bakunya berasal dari pohon pisang bagian akar, tapi keripik ini tetap renyah dan tidak terasa pahit. “Orang yang belum tahu tentu akan mengira bahwa panganan tersebut terbuat dari ketela ataupun sejenis umbi-umbian,” katanya.
Cara mengolahnya pun cukup mudah. Bonggol pisang dikuliti kemudian dipotong-potong sesuai ukuran lalu cuci dengan air supaya getahnya hilang. Bumbunya terdiri bawang putih, ketumbar, kemiri, kencur dan daun jeruk nipis diiris lembut. Semua bumbu tersebut dihaluskan kemudian campur dengan tepung beras, santan dan telur untuk dibuat adonan.
Campurkan bonggol pisang yang sudah dicuci bersih ke dalam adonan sedikit demi sedikit. Selanjutnya goreng hingga berubah warna menjadi coklat. Setelah matang keripik bisa langsung dikemas dalam plastik atau ditambah bumbu dengan berbagai rasa.
Menurut Sagiyem menggoreng keripik ini membutuhkan waktu yang cukup lama, karena bahannya basah dan harus membutuhkan minyak dalam volume banyak. “Dalam proses pengolahan saya tidak menggunakan penyedap rasa dan bahan pengawet sebagai gantinya saya ganti dengan garam. Asalkan penyimpanannya benar, keripik ini bisa awet satu bulan. Satu bonggol ini bisa menjadi satu kilogram keripik dan per kilonya dihargai Rp. 30.000,” ungkap Sagiyem saat ditemui di kediamannya di Dusun Polaman.
Mengkonsumsi keripik ini tidak perlu takut keracunan karena sudah mendapat izin dari Depkes. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, bonggol pisang memiliki kandungan kalori, protein, karbohidrat, fosfor, zat besi, vitamin B dan C. Hasil olahannya juga mengandung serat tinggi sehingga bagus untuk pencernaan.
Bonggol pisang tua juga mengandung amilum, karena itu pemanfaatan bonggol pisang ini bisa menambah nilai pohon pisang setelah pisang sudah dipanen. Amilum juga mengandung gizi yang cukup sehingga dapat dikonsumsi dan menjadi alternatif sumber makanan masa depan.
“Bahannya juga sangat mudah didapat tinggal ambil di kebun, selain alami juga menyehatkan. Proses pengolahan juga sangat mudah,” kata perempuan yang juga memberi pelatihan di wilayah Bantul dan Kulon Progo ini.
Keripik bonggol pisang dengan aneka rasa bisa menjadi peluang bisnis yang cukup tinggi jika diolah dengan benar dan dipasarkan secara tepat. Potensi pasar yang luas dan ketersediaan jumlah bahan baku yang melimpah yang ada di masyarakat akan menjadi nilai tambah bonggol pisang. Oleh karena itu hendaknya dimanfaatkan oleh pengusaha kecil dan petani tanaman pisang guna menambah pendapatan dan menjadikan keripik ini menjadi kuliner khas Bantul. (fn/tm/ph) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.