Laman

Selasa, 08 Juni 2010

Apartheid: Aromanya Masih Terasa


Polisi Afrika Selatan yang berkulit hitam dan putih, sudah mulai bisa cair, meski masih ada sedikit kaku.



JOHANNESBURG, KOMPAS.com -
Apartheid di Afrika Selatan (Afsel) memang sudah berakhir pada 1994. Semua orang kini sama. Namun, sinisme antarras masih terasa juga.

Dulu, zaman apartheid, kulit putih berkuasa. Ada pemisahan yang jelas antara kulit putih dan hitam. Fasilitas-fasilitas penting dikuasai kulit putih. Sekolah dibedakan, demikian juga tempat tinggalnya.

Kini, warga kulit hitam dan putih sudah membaur. Kesempatan bekerja di semua bidang juga terbuka. Namun, kulit hitam kini juga lebih berkuasa dan dominan di banyak bidang.

Bahkan, nama-nama kota yang dulu diberi nama barat, kini diganti dengan nama lokal. Pretoria diganti dengan nama Tshwane. Petersburg berganti nama Polokwanae.

Sekolah-sekolah juga sudah membaur. Rietondale Primary School yang dulu khusus kulit putih, kini sudah bercampur semua ras. Demikian juga dengan Nellie Swart Primary School. Namun, beberapa sekolah masih terkesan homogen. Boyes High School, misalnya, masih didominasi kulit putih.

Aroma perbedaan warna kulit memang masih terasa, setelah 16 tahun Apartheid dihapuskan daeri bumi Afsel. Nmun, tetap saja hubungan antara kulit hitam dan putih belum terlalu cair dan mesra. Masih ada perasaan sinisme.

Bedanya, kini kulit hitam lebih dominan baik di pemerintahan maupun di bedang-bidang lain. "Pemerintah mendahulukan kulit hitam dalam kesempatan kerja daripada kulit putih. Bahkan, dulu banyak kekerasan kepada kulit putih setelah Apartheid dihapus, hingga banyak kulit putih menyingkir ke luar negeri atau ke daerah putih seperti di Cape Town," kata warga kulit putih di Johannesburg.

Wilayah Sunnyside yang dulu dihuni kulit putih, kini berbalik 180 derajat. Daerah ini kini didominasi kulit hitam.

"Banyak orang bilang, di Afrika Selatan kini sudah sama dan sederajat. Saya tak percaya itu. Faktanya, saya merasakan adanya perbedaan juga," kata seorang insinyur warga Pretoria berkulit putih, yang tak maui disebutkan namanyua.

Meski begitu, ada upaya pemerintah untuk membaurkannya. Piala Dunia 2010 diharapkan menjadi momen persatuan, tanpa harus ada sinisme ras lagi. Baliho-baliho propaganda di Afsel mengarah ke sana.

"With World Cup, we stand together," demikian salah satu baliho itu. Ada juga yang berbunyi, "Many tribe one pride". Maksudnya, berbeda-beda suku tapi tetap satu kebanggaan.

Meski begitu, masih banyak pula yang skeptis bahwa Piala Dunia menjadi momen persatuan Afsel. Sebab, pesta bola terbesar itu hanya menyentuh kaum elit dan segelintir orang. Sedangkan masyarakat bawah tetap saja tak tersentuh secara ekonomi.

"Saya tak yakin Piala Dunia akan menjadi momen persatuan. Sebab, ini proyek elite dan hanya untuk kepentingan elit. Apa yang bisa didapat dari Piala Dunia dengan biaya miliaran itu untuk Afdsel yang masih banyak pengangguran dan kriminalitas," kritik warga Pretoria tersebut.

Dia justru khawatir, Piala Dunia akan menyisakan masalah buat Afsel. Sebab, biayanya terlalu besar, sementara anggaran negara tersedot habis. Padahal, kepentingan lain yang lebih urgen masih banyak.

"Pengangguran, sinisme ras, dan kriminallitas tak bisa diselesaikan dengan Piala Dunia," jelas sang insinyur tersebut.

Persoalan sinisme antarras memang masih menjadi PR besar buat Afsel. Sebab, warga Afsel dari berbagai kulit belum benar-benar bisa berbaur. Di Afsel, jarang bertemu dua orang berkulit beda berjalan bersama. Semua masih tampak sendiri-sendiri dan terpisah antara kullit hitam dan putih.

HPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Diberdayakan oleh Blogger.