Sampah plastik dari bekas kemasan serbuk minuman yang seringkali
dianggap hanyalah sampah plastik tak berharga dan menjadi penghuni
tempat sampah, ternyata bisa disulap jadi aneka bentuk benda
bermanfaat. Di Pati, Jawa Tengah beragam kreasi unik dibuat mulai dari
tas hingga dompet.
Inilah rumah Nurhayati di Desa Kaligoro, Kabupaten Pati Jawa Tengah
dan dijadikan tempat usaha pembuatan tas dan dompet dari bahan sampah
plastik bekas kemasan serbuk vitamin dan supplemen.
Di rumah ini setiap hari 2 karyawan terlihat tengah asyik dengan
pekerjaannya masing - masing. Di antaranya memilah- milah bungkus
plastik sachet bekas menurut corak dan ukurannya. Lembaran lembar
plastik yang telah tertata dilapisi dengan kain. Bahan ini kemudian
dilipat selanjutnya dijahit hingga membentuk pola yang diinginkan.
Setelah menempelkan perikat pada kedua sisi, maka jadilah produk
kerajinan tas yang siap dipakai.
Tas ukuran besar dijual 15 ribu rupiah, sedangkan dompet hanya 5000
ribu rupiah. Nurhayati mengaku pemasaran produknya sampai saat ini
hanya menghandalkan cerita dari mulut ke mulut pelanggannya.
Meski demikian penghasilan Nurhayati dari penjualan tas dan dompet
dari sampah plastik ini cukup lumayan. Karena selain bisa menghidupi 2
karyawan dia mengaku dapat mengantongi laba bersih antara 1 hingga 2
juta rupiah per bulan.
Kerja keras ibu-ibu ini ternyata mendatangkan hasil. Dengan karya
unik dan perpaduan warna bagus akhirnya karya-karyanya habis terjual.
Padahal pembeli baru dari sekitar kantor PPLH di wilayah Sanur. Memang
ada lokasi penjualan lain seperti di acara seminar.
Tak mau
kalah dengan Nurhayati, ketika mau dibeli, Ketut Merti, salah satu
pekerja yang setiap hari ''ngantor" di PPLH (Pusat Pendidikan
Lingkungan Hidup) Bali tidak mengizinkan. ''Sekarang nggak ada yang
bisa dijual. Ini semua contoh, jadi nggak bisa dijual. Pesan dulu ya,
soalnya stoknya habis," jelas salah satu ''pejuang" peduli lingkungan
ini.
Merti menjelaskan setiap model karya yang dibuat wajib
disisakan minimal satu untuk dijadikan contoh berikutnya. Sehingga di
PPLH ada contoh masing-masing karya mereka. Jika ada yang mau beli
tinggal melihat contoh itu. ''Kalau mau beli banyak lihat contoh itu.
Kalau belinya cuma satu-dua langsung dikasi, itu pun jika stoknya ada,"
sebut perempuan asal Belong, Sanur ini.
Terus siapa pembuat
desain dan pencetus ide ini? Merti mengatakan yang memiliki ide awal
membuat kerajinan tangan ini adalah Ketua PPLH Bali Catur Yudha
Hariani. ''Namun sekarang ibunya (Catur) lagi ada urusan di Jawa.
Beberapa hari lagi kemungkinan baru datang,'' sebut Merti.
Ketika
dihubungi via selular, Catur mengulas, banyak jenis kerajinan sampah
plastik yang dibuatnya. Mulai tas, topi, tempat pensil, tempat make up,
tempat tisu, tutup galon air minum hingga bungkus tempat penghangat
nasi. Start pengerjaan kerajinan ini tahun 2007 atau sudah berjalan
hampir dua tahun. ''Saya sudah memulainya sejak tahun 2007. Awalnya
tanpa melibatkan pekerja," sebut perempuan yang sudah lama memimpin
PPLH Bali ini.
Saat memulai kerajinan ini, dia sendiri dan
beberapa anak PPLH mendesain dulu bentuk-bentuk yang akan dibuatnya.
Langkah berikutnya baru menjahit. Modal mesin waktu itu hanya satu.
Setelah mendapat respons positif, mesin bertambah satu lagi menjadi
dua. ''Awalnya kita-kita yang memakai karya kita sendiri. Kemudian
banyak tertarik dan membelinya. Hingga sekarang saya masih memakai tas
dari kemasan limbah plastik," sebut dia.
Seiring bergulirnya
waktu, kerajinan tangan sampah plastik semakin banyak orang tertarik.
Hingga akhirnya mempekerjakan dua orang untuk menjahit tas dan
pernak-pernik ramah lingkungan itu. Dua orang juga kewalahan, akhirnya
dikembangkan keluar dan mempekerjakan ibu-ibu di luar PPLH Bali.
Sehingga terbentuk kelompok ibu-ibu Mawar Bersemi Sanur Kaja.
Mereka ini mengerjakan pesanan-pesanan dalam jumlah banyak. Tujuannya,
selain bisa dijadikan barang menghasilkan, tujuan lainnya menunda
sebuah barang menjadi sampah. Artinya, dari kemasan dan bungkus barang
jika tak dimanfaatkan jelas langsung menjadi sampah. Namun jika
dijadikan pernak-pernik dulu akan tertunda menjadi sampah dalam kurun
sampai tas dan karya lain itu rusak.
Dengan kondisi ini
otomatis akan mengurangi peredaran sampai plastik di lingkungan
masyarakat. ''Tujuan utamanya dari kami adalah untuk penyelamatan
lingkungan," kata Catur.
Lantaran sampah plastik memang
menjadi ancaman bagi kehidupan lingkungan dan manusia, bahayanya adalah
jika masuk ke tanah akan merusak struktur tanah, tanah tidak subur.
Selain itu akan merusak dan mencemari air, membuat keruh dan
tersedimentasi.
Kalau dibakar, plastik tidak akan pernah
habis. Lantaran hasil pembakaran tetap akan menimbulkan lelehan yang
menempel di tanah yang juga merusak tanah. Sedangkan asap pembakaran
sangat berbahaya bagi manusia. Kadang polusi dan kadang pula mengandung
racun dioxin yang bisa menimbulkan beberapa penyakit di tubuh manusia,
termasuk kanker.
Selain tujuan untuk penyelamatan lingkungan,
Catur mengatakan jika hasil karya dengan limbah plastik itu ternyata
menghasilkan karya seni. Hingga membuat berani orang membeli sehingga
bernilai ekonomis tinggi. ''Banyak hal keuntungannya, mulai yang
mengumpulkan bahan baku hingga yang mengerjakan juga dapat keuntungan
ekonomi lumayan," jelasnya dengan suara merdu dari balik telepon.
Dari keuntungan ini tentu bisa membeli peralatan yang lebih bagus di
kemudian hari. Catur menyadari selama ini pengerjaan serba manual.
Seandainya peralatan sudah lebih modern lagi, tentu pihaknya berani
melakukan penawaran kerja sama dengan pihak lain.
''Terus
terang pemasaran selama dua tahun ini belum bisa dalam jumlah banyak.
Kami masih takut kerja sama dengan pihak lain untuk memasarkan
kerajinan ini ke luar. Alat-alat kami masih manual," ungkap Catur
sambil tertawa kecil.
Awal idenya dari mana? Perempuan yang
katanya berperawakan centil ini menjelaskan awalnya dia berkunjung ke
Jogja. Tepatnya di Desa Sakunan. Di sana ada kelompok ibu-ibu
memanfaatkan limbah plastik untuk kerajinan. Hasilnya bagus. Kondisi
ini menggugah Catur untuk mengembangkan di Bali dengan membuat
kreasi-kreasi baru dan unik. ''Bahkan saya akan mengkreasikan nanti,
limbah plastik bisa untuk tikar, lapis figura hingga payung," imbuhnya.
Walaupun karyanya ini bisa dipatenkan, agar tak ditiru dan bisa
mendapatkan royalti jika ada yang meniru, Catur malah belum punya
rencana untuk mematenkan. Tujuan awal memang untuk menyelamatkan
lingkungan.
Catur justru ingin mengembangkan
kelompok-kelompok ini sampai ke desa-desa. ''Tak akan kami patenkan,
malah kami ingin semua ibu-ibu mau membuat dan memakai karya-karya
semacam ini. Sehingga bumi ini tak terkubur sampah, betul nggak?" ucap
Catur setengah bercanda.
Lain halnya dengan perempuan yang satu
ini. Pemutusan hubungan kerja bukanlah kiamat bagi Ummah Daeng Ne’nang
(48). Diberhentikan sebagai karyawan dari sebuah perusahaan rotan di
Makassar, Sulawesi Selatan, tujuh tahun silam, justru membawa berkah
baginya. Bagi Ummah, hal ini justru awal dari sebuah kehidupan yang
lebih menjanjikan.
Saat itu, pada tahun 2005, terbuka jalan
baginya untuk mendirikan Yayasan Peduli Pemulung. Belakangan, bersama
sang suami, Abdul Rachman Nur (60), inisiatif mendirikan yayasan itu
mengantarnya menekuni dunia usaha membuat tas dari sampah plastik yang
digeluti teman-teman pemulung dari yayasannya.
Ide untuk membuat
tas dari sampah plastik muncul ketika Ummah menonton acara keterampilan
di salah satu stasiun televisi. Dalam acara tersebut, beberapa perajin
memperagakan pembuatan tas memanfaatkan plastik bekas sabun cuci
piring, kecap, minyak goreng, pelembut pakaian, ataupun mi instan. Ia
kepincut karena doyan berketerampilan sejak kecil.
Kendati hanya
bersekolah hingga kelas III SD, anak ke-2 dari tujuh bersaudara ini
memiliki bakat yang paling menonjol dibandingkan dengan kakak dan
adik-adiknya. Sejak usia lima tahun, Ummah mampu menganyam seperti yang
sering dilakukan sang ibu. Ia pun selalu mengisi waktu luangnya saat
masih bekerja di perusahaan rotan dengan menjahit baju boneka dari
benang wol.
Ummah pun tidak menyia-nyiakan peluang mengolah
sampah plastik itu. Ia meminta para pemulung yang menjadi anggota
yayasannya untuk memasok sampah tersebut. Iming-iming upah Rp 3.000 per
kilogram (kg) ternyata mampu menarik minat pemulung yang selama ini
menganggap sebelah mata sampah plastik.
”Hal ini juga berdampak
positif terhadap kondisi lingkungan karena sampah plastik sulit
dimusnahkan,” tutur Ummah yang tinggal di Jalan Batua Raya XIV Nomor
12, Makassar.
Ia dan sang suami pun sepakat melabeli produk
mereka, ”tas sayang lingkungan”, sesuai tujuan awal keduanya untuk
berperan serta menjaga kelestarian lingkungan ketimbang mencari
keuntungan dari penjualan tas.
Ummah kemudian menggaet beberapa
tetangga untuk mencuci sampah plastik yang menumpuk di depan rumahnya.
Untuk 1 kg sampah plastik yang dicuci, Ummah mengupah mereka Rp 2.000
per orang. Sampah plastik yang sudah kering lantas dijahit menggunakan
mesin jahit yang dibeli Ummah dari uang hasil patungan dengan sang
suami.
Demi kelangsungan pembuatan tas ini, Ummah menyulap rumah
tipe 36 milik keluarganya menjadi tempat tinggal sekaligus kantor
yayasan dan tempat produksi tas. Salah satu kamar tidur berukuran 3 x 4
meter persegi dijadikan Ummah tempat menjahit tas. Dalam pembuatan tas,
Ummah dibantu dua perempuan mantan pemulung yang telah diajarkan
menjahit.
Pada mulanya, Ummah membuat tas sekolah dan tas
jinjing yang dijual seharga Rp 40.000 per buah. Dalam sebulan ia
berhasil menjual sedikitnya 50 tas. Hal itu berkat kegigihan Ummah
berkeliling instansi pemerintah ataupun permukiman untuk menawarkan tas
buatannya. Kala itu, omzet yang berhasil diraih Ummah antara Rp 1,5
juta-Rp 2 juta per bulan.
Tiga bulan kemudian penjualan tas
sempat menurun. Ummah pun mendapat masukan untuk memperbanyak model tas
yang dibuat. Salah seorang temannya sempat memberikan hadiah buku
berjudul From Trash to Trashion: 25 Kreasi Limbah Plastik (2009) karya
Herianti untuk memperkaya wawasan dan kreasi Ummah.
Buku
tersebut ternyata menginspirasi Ummah untuk membuat beragam jenis
produk dari sampah plastik, seperti tas laptop, tas bepergian (travel
bag), tas kerja (untuk map dan arsip), jas hujan (untuk anak-anak dan
dewasa), celemek (pelindung tubuh saat memasak), dan dompet. Produk
tersebut dijual mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 100.000 per buah.
Inovasi
ini membuat Ummah semakin percaya diri menawarkan produk buatannya ke
instansi pemerintah. Produk tas kerja bikinannya cukup diminati dalam
sejumlah seminar yang diadakan pemerintah.
”Saya cukup sering
menerima pesanan 100 hingga 200 tas kerja yang saya jual Rp 25.000 per
buah,” kata Ummah. Sementara untuk produk lainnya ditawarkan melalui
bantuan para pemulung yang merangkap menjadi ”sales” saat mencari
barang bekas sehari-hari.
Ikut pameran
Penjualan
yang semakin meningkat turut mendongkrak pamor produk dari sampah
plastik buatan Ummah. Ia pun mulai mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti pameran industri kecil dan pameran yang berkaitan dengan
produk ramah lingkungan sejak dua tahun lalu.
Saat mengikuti
pameran yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi
Selatan, Ummah mendapatkan bantuan lima mesin jahit dari Gubernur
Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Hal tersebut dimanfaatkan Ummah
untuk mengembangkan usaha.
Ia pun menunjuk delapan karyawan dari
pemulung yang dibina ataupun warga sekitar tempat tinggalnya untuk
mengerjakan beraneka tas plastik. Dalam sebulan mereka ditarget untuk
menghasilkan minimal 500 produk. Tiap karyawan mendapat upah 30 persen
dari setiap barang yang terjual.
Dengan mekanisme bagi hasil
itu, Ummah mampu mengantongi omzet hingga Rp 3 juta sebulan. Jumlah itu
bisa lebih besar apabila ia mendapat pesanan tas kerja untuk seminar
yang diadakan pemerintah daerah setempat.
Kiprah Ummah di bidang
usaha akhirnya mendapatkan kepercayaan pihak perbankan. Baru-baru ini
ia memperoleh pinjaman modal usaha dari Bank Sulawesi Selatan sebesar
Rp 20 juta. Dana tersebut rencananya akan digunakan Ummah untuk
memperkuat kegiatan usaha mengingat hingga kini produknya belum
memiliki pangsa pasar yang jelas dan pasti.
”Terkadang omzet
saya bisa turun hingga Rp 1 juta sebulan karena minimnya bantuan dalam
memasarkan produk,” ungkap Ummah. Dia berharap peran serta Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan produk sampah plastik
ini ke pasar nasional ataupun internasional.
”Saya yakin respons
pasar luar negeri akan positif karena yang ditawarkan produk ramah
lingkungan,” tutur Abdul Rachman. Sayangilah lingkungan dengan membeli
”tas sayang lingkungan” ala Ummah ini. (fn/id/jp/km) www.suaramedia.com
Saluutt__masih banyak kreasi-kreasi bernilai jual tinggi yang bisa kita buat dengan memanfaatkan sampah__
BalasHapus