Laman

Jumat, 18 Februari 2011

Kreasi Daur Ulang Sampah Naik Derajat

Sampah plastik dari bekas kemasan serbuk minuman yang seringkali dianggap hanyalah sampah plastik tak berharga dan menjadi penghuni tempat sampah, ternyata bisa disulap jadi aneka bentuk benda bermanfaat. Di Pati, Jawa Tengah beragam kreasi unik dibuat mulai dari tas hingga dompet.
Inilah rumah Nurhayati di Desa Kaligoro, Kabupaten Pati Jawa Tengah dan dijadikan tempat usaha pembuatan tas dan dompet dari bahan sampah plastik bekas kemasan serbuk vitamin dan supplemen.
Di rumah ini setiap hari 2 karyawan terlihat tengah asyik dengan pekerjaannya masing - masing. Di antaranya memilah- milah bungkus plastik sachet bekas menurut corak dan ukurannya. Lembaran lembar plastik yang telah tertata dilapisi dengan kain. Bahan ini kemudian dilipat selanjutnya dijahit hingga membentuk pola yang diinginkan. Setelah menempelkan perikat pada kedua sisi, maka jadilah produk kerajinan tas yang siap dipakai.
Tas ukuran besar dijual 15 ribu rupiah, sedangkan dompet hanya 5000 ribu rupiah. Nurhayati mengaku pemasaran produknya sampai saat ini hanya menghandalkan cerita dari mulut ke mulut pelanggannya.
Meski demikian penghasilan Nurhayati dari penjualan tas dan dompet dari sampah plastik ini cukup lumayan. Karena selain bisa menghidupi 2 karyawan dia mengaku dapat mengantongi laba bersih antara 1 hingga 2 juta rupiah per bulan.
Kerja keras ibu-ibu ini ternyata mendatangkan hasil. Dengan karya unik dan perpaduan warna bagus akhirnya karya-karyanya habis terjual. Padahal pembeli baru dari sekitar kantor PPLH di wilayah Sanur. Memang ada lokasi penjualan lain seperti di acara seminar.

Tak mau kalah dengan Nurhayati, ketika mau dibeli, Ketut Merti, salah satu pekerja yang setiap hari ''ngantor" di PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Bali tidak mengizinkan. ''Sekarang nggak ada yang bisa dijual. Ini semua contoh, jadi nggak bisa dijual. Pesan dulu ya, soalnya stoknya habis," jelas salah satu ''pejuang" peduli lingkungan ini.

Merti menjelaskan setiap model karya yang dibuat wajib disisakan minimal satu untuk dijadikan contoh berikutnya. Sehingga di PPLH ada contoh masing-masing karya mereka. Jika ada yang mau beli tinggal melihat contoh itu. ''Kalau mau beli banyak lihat contoh itu. Kalau belinya cuma satu-dua langsung dikasi, itu pun jika stoknya ada," sebut perempuan asal Belong, Sanur ini.

Terus siapa pembuat desain dan pencetus ide ini? Merti mengatakan yang memiliki ide awal membuat kerajinan tangan ini adalah Ketua PPLH Bali Catur Yudha Hariani. ''Namun sekarang ibunya (Catur) lagi ada urusan di Jawa. Beberapa hari lagi kemungkinan baru datang,'' sebut Merti.

Ketika dihubungi via selular, Catur mengulas, banyak jenis kerajinan sampah plastik yang dibuatnya. Mulai tas, topi, tempat pensil, tempat make up, tempat tisu, tutup galon air minum hingga bungkus tempat penghangat nasi. Start pengerjaan kerajinan ini tahun 2007 atau sudah berjalan hampir dua tahun. ''Saya sudah memulainya sejak tahun 2007. Awalnya tanpa melibatkan pekerja," sebut perempuan yang sudah lama memimpin PPLH Bali ini.

Saat memulai kerajinan ini, dia sendiri dan beberapa anak PPLH mendesain dulu bentuk-bentuk yang akan dibuatnya. Langkah berikutnya baru menjahit. Modal mesin waktu itu hanya satu. Setelah mendapat respons positif, mesin bertambah satu lagi menjadi dua. ''Awalnya kita-kita yang memakai karya kita sendiri. Kemudian banyak tertarik dan membelinya. Hingga sekarang saya masih memakai tas dari kemasan limbah plastik," sebut dia.

Seiring bergulirnya waktu, kerajinan tangan sampah plastik semakin banyak orang tertarik. Hingga akhirnya mempekerjakan dua orang untuk menjahit tas dan pernak-pernik ramah lingkungan itu. Dua orang juga kewalahan, akhirnya dikembangkan keluar dan mempekerjakan ibu-ibu di luar PPLH Bali. Sehingga terbentuk kelompok ibu-ibu Mawar Bersemi Sanur Kaja.

Mereka ini mengerjakan pesanan-pesanan dalam jumlah banyak. Tujuannya, selain bisa dijadikan barang menghasilkan, tujuan lainnya menunda sebuah barang menjadi sampah. Artinya, dari kemasan dan bungkus barang jika tak dimanfaatkan jelas langsung menjadi sampah. Namun jika dijadikan pernak-pernik dulu akan tertunda menjadi sampah dalam kurun sampai tas dan karya lain itu rusak.

Dengan kondisi ini otomatis akan mengurangi peredaran sampai plastik di lingkungan masyarakat. ''Tujuan utamanya dari kami adalah untuk penyelamatan lingkungan," kata Catur.

Lantaran sampah plastik memang menjadi ancaman bagi kehidupan lingkungan dan manusia, bahayanya adalah jika masuk ke tanah akan merusak struktur tanah, tanah tidak subur. Selain itu akan merusak dan mencemari air, membuat keruh dan tersedimentasi.

Kalau dibakar, plastik tidak akan pernah habis. Lantaran hasil pembakaran tetap akan menimbulkan lelehan yang menempel di tanah yang juga merusak tanah. Sedangkan asap pembakaran sangat berbahaya bagi manusia. Kadang polusi dan kadang pula mengandung racun dioxin yang bisa menimbulkan beberapa penyakit di tubuh manusia, termasuk kanker.

Selain tujuan untuk penyelamatan lingkungan, Catur mengatakan jika hasil karya dengan limbah plastik itu ternyata menghasilkan karya seni. Hingga membuat berani orang membeli sehingga bernilai ekonomis tinggi. ''Banyak hal keuntungannya, mulai yang mengumpulkan bahan baku hingga yang mengerjakan juga dapat keuntungan ekonomi lumayan," jelasnya dengan suara merdu dari balik telepon.

Dari keuntungan ini tentu bisa membeli peralatan yang lebih bagus di kemudian hari. Catur menyadari selama ini pengerjaan serba manual. Seandainya peralatan sudah lebih modern lagi, tentu pihaknya berani melakukan penawaran kerja sama dengan pihak lain.

''Terus terang pemasaran selama dua tahun ini belum bisa dalam jumlah banyak. Kami masih takut kerja sama dengan pihak lain untuk memasarkan kerajinan ini ke luar. Alat-alat kami masih manual," ungkap Catur sambil tertawa kecil.

Awal idenya dari mana? Perempuan yang katanya berperawakan centil ini menjelaskan awalnya dia berkunjung ke Jogja. Tepatnya di Desa Sakunan. Di sana ada kelompok ibu-ibu memanfaatkan limbah plastik untuk kerajinan. Hasilnya bagus. Kondisi ini menggugah Catur untuk mengembangkan di Bali dengan membuat kreasi-kreasi baru dan unik. ''Bahkan saya akan mengkreasikan nanti, limbah plastik bisa untuk tikar, lapis figura hingga payung," imbuhnya.

Walaupun karyanya ini bisa dipatenkan, agar tak ditiru dan bisa mendapatkan royalti jika ada yang meniru, Catur malah belum punya rencana untuk mematenkan. Tujuan awal memang untuk menyelamatkan lingkungan.

Catur justru ingin mengembangkan kelompok-kelompok ini sampai ke desa-desa. ''Tak akan kami patenkan, malah kami ingin semua ibu-ibu mau membuat dan memakai karya-karya semacam ini. Sehingga bumi ini tak terkubur sampah, betul nggak?" ucap Catur setengah bercanda.

Lain halnya dengan perempuan yang satu ini. Pemutusan hubungan kerja bukanlah kiamat bagi Ummah Daeng Ne’nang (48). Diberhentikan sebagai karyawan dari sebuah perusahaan rotan di Makassar, Sulawesi Selatan, tujuh tahun silam, justru membawa berkah baginya. Bagi Ummah, hal ini justru awal dari sebuah kehidupan yang lebih menjanjikan.

Saat itu, pada tahun 2005, terbuka jalan baginya untuk mendirikan Yayasan Peduli Pemulung. Belakangan, bersama sang suami, Abdul Rachman Nur (60), inisiatif mendirikan yayasan itu mengantarnya menekuni dunia usaha membuat tas dari sampah plastik yang digeluti teman-teman pemulung dari yayasannya.

Ide untuk membuat tas dari sampah plastik muncul ketika Ummah menonton acara keterampilan di salah satu stasiun televisi. Dalam acara tersebut, beberapa perajin memperagakan pembuatan tas memanfaatkan plastik bekas sabun cuci piring, kecap, minyak goreng, pelembut pakaian, ataupun mi instan. Ia kepincut karena doyan berketerampilan sejak kecil.

Kendati hanya bersekolah hingga kelas III SD, anak ke-2 dari tujuh bersaudara ini memiliki bakat yang paling menonjol dibandingkan dengan kakak dan adik-adiknya. Sejak usia lima tahun, Ummah mampu menganyam seperti yang sering dilakukan sang ibu. Ia pun selalu mengisi waktu luangnya saat masih bekerja di perusahaan rotan dengan menjahit baju boneka dari benang wol.

Ummah pun tidak menyia-nyiakan peluang mengolah sampah plastik itu. Ia meminta para pemulung yang menjadi anggota yayasannya untuk memasok sampah tersebut. Iming-iming upah Rp 3.000 per kilogram (kg) ternyata mampu menarik minat pemulung yang selama ini menganggap sebelah mata sampah plastik.

”Hal ini juga berdampak positif terhadap kondisi lingkungan karena sampah plastik sulit dimusnahkan,” tutur Ummah yang tinggal di Jalan Batua Raya XIV Nomor 12, Makassar.

Ia dan sang suami pun sepakat melabeli produk mereka, ”tas sayang lingkungan”, sesuai tujuan awal keduanya untuk berperan serta menjaga kelestarian lingkungan ketimbang mencari keuntungan dari penjualan tas.

Ummah kemudian menggaet beberapa tetangga untuk mencuci sampah plastik yang menumpuk di depan rumahnya. Untuk 1 kg sampah plastik yang dicuci, Ummah mengupah mereka Rp 2.000 per orang. Sampah plastik yang sudah kering lantas dijahit menggunakan mesin jahit yang dibeli Ummah dari uang hasil patungan dengan sang suami.

Demi kelangsungan pembuatan tas ini, Ummah menyulap rumah tipe 36 milik keluarganya menjadi tempat tinggal sekaligus kantor yayasan dan tempat produksi tas. Salah satu kamar tidur berukuran 3 x 4 meter persegi dijadikan Ummah tempat menjahit tas. Dalam pembuatan tas, Ummah dibantu dua perempuan mantan pemulung yang telah diajarkan menjahit.

Pada mulanya, Ummah membuat tas sekolah dan tas jinjing yang dijual seharga Rp 40.000 per buah. Dalam sebulan ia berhasil menjual sedikitnya 50 tas. Hal itu berkat kegigihan Ummah berkeliling instansi pemerintah ataupun permukiman untuk menawarkan tas buatannya. Kala itu, omzet yang berhasil diraih Ummah antara Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan.

Tiga bulan kemudian penjualan tas sempat menurun. Ummah pun mendapat masukan untuk memperbanyak model tas yang dibuat. Salah seorang temannya sempat memberikan hadiah buku berjudul From Trash to Trashion: 25 Kreasi Limbah Plastik (2009) karya Herianti untuk memperkaya wawasan dan kreasi Ummah.

Buku tersebut ternyata menginspirasi Ummah untuk membuat beragam jenis produk dari sampah plastik, seperti tas laptop, tas bepergian (travel bag), tas kerja (untuk map dan arsip), jas hujan (untuk anak-anak dan dewasa), celemek (pelindung tubuh saat memasak), dan dompet. Produk tersebut dijual mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 100.000 per buah.

Inovasi ini membuat Ummah semakin percaya diri menawarkan produk buatannya ke instansi pemerintah. Produk tas kerja bikinannya cukup diminati dalam sejumlah seminar yang diadakan pemerintah.

”Saya cukup sering menerima pesanan 100 hingga 200 tas kerja yang saya jual Rp 25.000 per buah,” kata Ummah. Sementara untuk produk lainnya ditawarkan melalui bantuan para pemulung yang merangkap menjadi ”sales” saat mencari barang bekas sehari-hari.

Ikut pameran

Penjualan yang semakin meningkat turut mendongkrak pamor produk dari sampah plastik buatan Ummah. Ia pun mulai mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pameran industri kecil dan pameran yang berkaitan dengan produk ramah lingkungan sejak dua tahun lalu.

Saat mengikuti pameran yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan, Ummah mendapatkan bantuan lima mesin jahit dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Hal tersebut dimanfaatkan Ummah untuk mengembangkan usaha.

Ia pun menunjuk delapan karyawan dari pemulung yang dibina ataupun warga sekitar tempat tinggalnya untuk mengerjakan beraneka tas plastik. Dalam sebulan mereka ditarget untuk menghasilkan minimal 500 produk. Tiap karyawan mendapat upah 30 persen dari setiap barang yang terjual.

Dengan mekanisme bagi hasil itu, Ummah mampu mengantongi omzet hingga Rp 3 juta sebulan. Jumlah itu bisa lebih besar apabila ia mendapat pesanan tas kerja untuk seminar yang diadakan pemerintah daerah setempat.

Kiprah Ummah di bidang usaha akhirnya mendapatkan kepercayaan pihak perbankan. Baru-baru ini ia memperoleh pinjaman modal usaha dari Bank Sulawesi Selatan sebesar Rp 20 juta. Dana tersebut rencananya akan digunakan Ummah untuk memperkuat kegiatan usaha mengingat hingga kini produknya belum memiliki pangsa pasar yang jelas dan pasti.

”Terkadang omzet saya bisa turun hingga Rp 1 juta sebulan karena minimnya bantuan dalam memasarkan produk,” ungkap Ummah. Dia berharap peran serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan produk sampah plastik ini ke pasar nasional ataupun internasional.

”Saya yakin respons pasar luar negeri akan positif karena yang ditawarkan produk ramah lingkungan,” tutur Abdul Rachman. Sayangilah lingkungan dengan membeli ”tas sayang lingkungan” ala Ummah ini. (fn/id/jp/km) www.suaramedia.com

1 komentar:

  1. Saluutt__masih banyak kreasi-kreasi bernilai jual tinggi yang bisa kita buat dengan memanfaatkan sampah__

    BalasHapus

About

Diberdayakan oleh Blogger.